Thursday 1 December 2016

Casein PhosphoPeptide-Amorphous Calcium Phosphate a.k.a Kasein

Penilaian White Spot Lesi dan Evaluasi pengaruh CPP-ACP pada White Spot Lesi
di Gigi Molar Pertama Permanen pada Anak secara In-Vivo

Deepti Munjal, Shalini garg, Abhishek Dhinds A, Gagandeep kaur sidhu, Harsimran singh sethi

Abstrak
Pendahuluan : Salah satu penghambat terjadinya proses remineralisasi yang terjadi selama terapi ortodontik yang mengakibatkan dekalsifikasi enamel dikarenakan retensi plak yang meningkat pada prosedur pengaplikasian band dan bonding.
Tujuan : Penelitian analitik dilakukan untuk menilai terjadinya white spot lesi pada gigi molar permanen pada anak-anak dengan dan tanpa terapi ortodontik serta untuk mengevaluasi efek dari Casein PhosphoPeptide-Amorphous Calcium Phosphate (CPP-ACP) pada white spot lesi di pasien setelah perawatan ortodontik dalam jangka waktu tertentu.
Bahan dan Metode : Penelitian ini terdiri dari pemeriksaan 679 molar pertama untuk menilai terjadinya white spot lesi pada permukaan gigi anak-anak dari kelompok usia 8-16 tahun. Kelompok I terdiri dari anak-anak tanpa perawatan ortodontik sebelumnya dan Kelompok II terdiri dari anak-anak yang telah menjalani terapi ortodontik. Besar sampel dihitung menggunakan aplikasi computer epi-info6. Kelompok perlakuan adalah 20 anak pasca perawatan ortodontik yang diperiksa dengan setidaknya memiliki satu white spot lesi pada enamel gigi yang akan diberikan krim remineralisasi (CG Tooth Mousse, Recaldent, GC, Corporation) yaitu krim CPP-ACP dua kali sehari selama 12 minggu berturut-turut. Metode computerized image analysis digunakan untuk mengevaluasi white spot lesi. Frekuensi dan persentase digunakan dalam uji chi-square. Uji t digunakan untuk melihat perbandingan data numerik.
Hasil : Sebanyak 278 (49,6%) molar pertama permanen menunjukkan terjadinya white spot lesi pada permukaan gigi dari 560 molar pertama pada kelompok I dan sebanyak 107 (89,9%) molar pertama permanen menunjukkan adanya white spot lesi dari 119 molar pertama permanen anak-anak yang pernah dipasangkan band di kelompok II. Kelompok perawatan CPP-ACP menunjukkan penurunan skor keparahan yang sangat signifikan setelah 8 minggu hingga12 minggu pada sepertiga gingiva, dengan nilai p (<0,001) dan signifikan setelah 4-8 minggu pada sepertiga bagian tengah permukaan gigi, sesuai dengan kriteria ICDAS II dengan computerized image analysis. Kesimpulan : Terapi CPP-ACP minimal selama 12 minggu sangat dianjurkan sebagai kebutuhan perawatan pasca-ortodontik pada perawatan white spot lesi pada permukaan gigi yang telah dilakukan perawatan ortodontik cekat sebelumnya sesuai dalam penelitian ini. Kata kunci : Casein PhosphoPeptide-Amorphous Calcium Phosphate, dekalsifikasi, lesi karies baru, Ortodontik Pendahuluan White spot lesi didefenisikan sebagai sub-porositas pada permukaan enamel dari demineralisasi karies yang menghasilkan warna seperti susu putih yang berada pada permukaan gigi. White spot lesi telah disebut sebagai efek iatrogenik pada perawatan ortodontik cekat.1 Jumlah plak yang meningkat pada prosedur pengaplikasian band dan bonding alat ortodontik di gigi, karena itu menjaga kebersihan mulut menjadi sulit. Ph yang berkurang dan plak disekitar band ortodontik menyebabkan sulitnya proses remineralisasi enamel sehingga proses dekalsifikasi berlangsung.2 Diagnosis dan penilaian klinis white spot lesi adalah tantangan terbesar bagi para peneliti. Kriteria International Caries Detection and Assesment System II (ICDAS II) dikembangkan untuk mengintegrasikan beberapa sistem kriteria baru dalam satu sistem standar untuk deteksi dan penilaian karies.3 Hal ini untuk menentukan kedalaman histologis serta perubahan permukaan lesi karies dengan mengamati karakteristik permukaan gigi.4 Sebuah metode dengan menggunakan software baru dengan computerized image analysis digunakan untuk menilai efek klinis dari perawatan yang digunakan dalam perawatan white spot lesi.5 Penilaian demineralisasi enamel dari gambar berwarna tampaknya lebih baik dari pengamatan klinis secara langsung dengan mata telanjang. Prevelensi white spot lesi pada pasien ortodontik telah dilaporkan 2%-96%.6 Mengingat posisi yang ditempati band ortodontik pada mahkota gigi, setelah perawatan ortodontik, distribusi lesi pada gigi terkait pada posisi dan karakteristik masing-masing gigi. Peningkatan terbesar pada sepertiga servikal dan permukaan tengah vestibular gigi tersebut.7 Namun, dari laporan studi intervensi in-vivo dalam mengobati white spot lesi pada pasien pasca perawatan ortodontik sangat terbatas.8 Potensi CPP-ACP untuk mencegah demineralisasi enamel dan merangsang remineralisasi telah dicoba pada karies hewan, model in vitro, human in situ dan uji klinis.9 Adanya kandungan ion kalsium fosfat secara bebas pada CPP-ACP membantu reformasi Kristal kalsium fosfat pada enamel.10 CPP-ACP nano kompleks akan menstablikan ion kalsium dan fosfat, mencegah transformasi ke fase Kristal dan mempertahankan keadaan yang stabil.9 Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari terjadinya white spot lesi pada gigi molar permanen anak-anak dengan dan tanpa terapi ortodontik dan untuk menilai efek dari CPP-ACP secara in vivo pada white spot lesi pada pasien pasca perawatan ortodontik dalam jangka waktu tertentu. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menerapkan pengetahuan dalam pencegahan terjadinya penyakit selama terapi ortodontik pada anak-anak. Bahan dan Metode Penelitian Analitik dan prospektif dilakukan di Departemen Pediatrics & Preventive Dentistry yang berkoordinasi dengan Departemen Ortodonsi, M.M College of Dental Sciences and Research, Muliana, Ambala, Haryana, India. Penelitian ini terdiri dari pemeriksaan 679 molar pertama permanen pada anak-anak kelompok usia 8-16 tahun dan 20 anak diantaranya adalah pasien pasca perawatan ortodontik dengan setidaknya memiliki satu white spot lesi pada giginya. Penelitian dilakukan dalam dua bagian. Pada bagian pertama, analisis dilakukan dengan pemeriksaan 679 molar pertama permanen yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok I terdiri dari 560 molar pertama permanen yang diperiksa untuk menilai terjadinya white spot lesi di permukaan gigi pada anak-anak yang tidak menjalani perawatan ortodontik. Kelompok II terdiri dari pemeriksaan 119 molar pertama permanen untuk menilai terjadinya white spot lesi di permukaan gigi pada anak-anak yang telah menjalani terapi ortodontik, setelah perawatan ortodontik dan setelah pelepasan band. Semua sampel tersebut diperiksa sesuai pedoman dari protokol penelitian. Besar sampel dihitung menggunakan aplikasi epi-info6 oleh ahli statistik. Jumlah molar pertama permanen diambil untuk penentuan prevelensi terjadinya white spot lesi karena etiologi yang tidak diketahui, pada populasi normal diambil kelompok khusus dengan etiologi yang diketahui, yaitu terapi ortodontik. Penelitian ini telah disetujui oleh komite etik dan diperoleh informed consent dari anak-anak dan walinya. Pada permukaan bukal dan palatal/lingual gigi molar pertama permanen di setiap kuadran diperiksa adanya white spot lesi sesuai dengan kriteria ICDAS II.3 Skor untuk deteksi dan kalsifikasi lesi karies pada permukaan gigi menurut kriteria ICDAS II adalah sebagai berikut : Skor 0 : Permukaan gigi normal Skor 1 : Perubahan awal pada tampilan enamel Skor 2 : Perubahan pada enamel dalam keadaan basah Skor 3 : Kerusakan awal enamel karena karies tanpa melibatkan dentin Skor 4 :Adanya bayangan gelap di bawah dentin dengan atau tanpa melibatkan kerusakan enamel. Uji kalibrasi dilakukan sebelum dimulainya penelitian untuk kesesuaian penelitian. Sehingga resiko terjadinya kesalahan metodologis menjadi minim. Pada kelompok I, dua sekolah dipilih secara random sampling untuk pemeriksaan di kelompok usia 8-16 tahun. Surat izin diambil dari masing-masing pihak sekolah. Umur dikonfirmasi dengan akte kelahiran dan informasi diberikan dari catatan di sekolah. Bertempat di taman bermain sekolah yang telah disediakan oleh pihak sekolah, anak-anak dibuat nyaman dan duduk di kursi dengan tegak dan diperiksa di bawah cahaya alami. Sebelum pemeriksaan, retractor pipi di masukkan ke mulut dan permukaan gigi dibersihkan dengan kapas dan dikeringkan dengan chip blower. Sebuah instrumen berbentuk bola digunakan untuk membantu dalam pemeriksaan. Sebelum pemeriksaan, skelling ultrasonic pada gigi dilakukan untuk menghilangkan plak pada semua permukaan gigi dan dipoles dengan pumice sebagai profilaksis. Skelling ultrasonic dilakukan di mobil van milik perguruan tinggi yang dilengkapi dengan fasilitas ultrasonic. Pada kelompok II, anak-anak berusia 8-16 tahun yang sebelumnya menjalani perawatan ortodontik di departemen ortodontik diperiksa. Sebanyak 119 molar pertama permanen diperiksa, anak-anak dibuat nyaman duduk di kursi dan diperiksa di bawah cahaya alami, prosedur yang sama seperti kelompok I, untuk medeteksi white spot lesi menggunakan kriteria ICDAS II untuk melihat keparahan lesi. Setelah dilakukan pemeriksaan klinis, dilakukan foto pada molar pertama permanen menggunakan kamera digital. Untuk bagian selanjutnya bagian kedua, 20 pasien pasca perawatan ortodontik yang setuju berpartisipasi dalam penelitian ini dan memiliki white spot lesi yang berdekatan dengan gingival atau berada di sepertiga dari gigi dengan ukuran 2 mm atau lebih besar dari 2mm yang dipilih sebagai kelompok perlakuan. Subjek penelitian dan orangtua mereka menerima dan menandatangani informed consent. Subjek yang dipilih menerima perlakuan pemberian krim remineralisasi (CG Tooth Mousse, Recaldent, GC Corporation) di bagian pengobatan penelitian. Subjek tersebut diinstruksikan untuk membersihkan gigi sehari-hari menggunakan pasta gigi dan sikat gigi dengan tekstur yang lembut, kemudian pasien diinstruksikan untuk menerapkan sejumlah krim CPP-ACP dua kali sehari selama 12 minggu berturut-turut. Pasien diinstruksikan untuk membuat grafik diet dan mengisi kalender yang diberikan. Sebelum perawatan dan setelah perawatan, permukaan bukal dan palatal/lingual gigi molar pertama permanen dicatat dari 20 pasien perlakuan yang ditemukan white spot lesi pada giginya. Nomor identifikasi diberikan kepada setiap pasien untuk mempersiapkan data untuk evaluasi statistic dan diperiksa setiap 4,8, dan 12 minggu sesuai dengan kriteria ICDAS II. Kriteria ICDAS II diberikan pada setiap kunjungan dan setiap lesi diamati. Minimal satu white spot lesi yang paling parah di permukaan gingival dipilih untuk di tindak lanjut. Pengaruh krim remineralisasi terlihat dari kenaikan atau penurunan skor setelah 4,8, dan 12 minggu. Jika lesi sembuh maka memenuhi kriteria, yaitu dengan skor 0 (permukaan gigi normal). Foto digital dari molar pertama permanen diambil menggunakan Sony Cyber-shot DSC-H55 dengan kamera 14,1 mega pixel, 2mm widge-angle lensa G dengan 10x optical zoom. Gambar diambil menggunakan kamera dan disimpan dalam format JPEG. Kemudian dengan menggunakan Adobe Photoshop versi 7.0 dengan bagian tepi gambar di filter dan menggunakan brush pada tepi foto. Kemudian gambar tersebut disimpan sebagai format baru file JPEG. Gambar-gambar tersebut dengan hati-hati diperiksa dan white spot lesi diidentifikasi dan ditelusuri menggunakan free hand tool dan computer mouse. Penilaian klinis dan perubahan white spot lesi dilakukan dengan membandingkan catatan sebelum terapi dan pasca terapi. [Tabel/Gambar 1,2] [Tabel/Gambar 1a-c] : Perwakilan foto yang menunjukkan penurunan skor ICDAS II setelah perawatan dengan krim CPP-ACP. (a) molar pertama permanen dengan tepi yang menunjukkan skor 2 dalam kriteria ICDAS II. (b) molar pertama permanen dengan tepi yang masih menunjukkan skor 2 dalam kriteria ICDAS II. (c) Setelah intervensi 12 minggu, menunjukkan gigi molar pertama permanen dengan skor 0 kriteria ICDAS II. [Tabel /Gambar 2a-c] : Molar 1 permanen menunjukkan skor 1 dari kriteria ICDAS II, setelah intervensi 12 minggu. Molar 1 permanen menunjukkan tanda white spot lesi. Molar 1 permanen dengan tepi yang menunjukkan skor 2 dari kriteria ICDAS II. Perwakilan foto menunjukkan penurunan kode kriteria ICDAS II setelah perawatan dengan krim CPP-ACP. Transisi untuk setiap white spot lesi antara baseline dan penilaian lanjut diberi skor sesuai dengan matriks transisi. Regresi lesi ditampung, dengan (<) diberikan saat transisi ke nilai yang tidak parah atau berkurang terjadi. (>) diberikan saat ada perkembangan lesi, dan stabil (S) mewakili lesi stabil yang tidak naik maupun turun. Untuk data numerik, standar devisi dihitung. Untuk data kategori, frekuensi dan persentase dihitung. Frekuensi dan presentase dibandingkan dengan menggunakan uji chi-square. Untuk perbandingan data numeric, digunakan t-test.
Hasil
Hasil penelitian ini menujukkan sebanyak 278 (49,6%) molar pertama permanen, 132 (47,48%) rahang atas dan 146 (52,52%) rahang bawah yang menunjukkan terjadinya white spot lesi pada permukaan gigi dari 560 molar pertama permanen anak-anak tanpa perawatan ortodontik sebelumnya yang diperiksa pada kelompok usia 8-16 tahun dengan kriteria ICDAS II. Sebanyak 107 (89,9%) molar pertama permanen, 52 (48,6%) rahang atas dan 55 (51,40%) rahang bawah molar pertama permanen menunjukkan adanya white spot lesi dari 119 molar pertama permanen anak-anak yang diperiksa dalam kelompok usia 8-16 tahun pada pasien pasca perawatan ortodontik [Tabel/ gambar 3]. Untuk membandingkan dan mengevaluasi perbedaan dalam terjadinya white spot lesi pada kelompok dengan dan tanpa perawatan ortodontik. Uji chi-square diterapkan, didapatkan nilai p <0,0001 dengan nilai chi-square 64,84%.

White spot lesi Kelompok I
molar pertama permanen tanpa perawatan ortodontik Kelompok II
molar pertama permanen dengan perawatan ortodontik Nilai p
Frekuensi Persen Frekuensi Persen
Tidak ada 282 50,3% 12 10,1% <0,0001**
Ada 278 49,6% 107 89,9%
Total 560 100,0% 119 100,0%
Molar pertama permanen rahang atas 132 47,48 52 48,60% 0,251
Molar pertama permanen rahang bawah 146 52,52 55 51,40%
Tabel/ Gambar 3 : Frekuensi white spot lesi pada molar pertama permanen dengan dan tanpa perawatan ortodontik
(*Signifikan statistic, **Signifikan statistic tertinggi menggunakan uji chi-square)

Pada subjek tanpa perawatan ortodontik, white spot lesi umumnya ditemukan pada sepertiga gingival bagian bukal dengan skor 1(18,95) skor 2 (14,3%) kemudian sepertiga tengah permukaan gigi dengan skor 2 (4,6%), skor 1 (0,7%), skor 3 (0,4%) dan pada bagian sepertiga oklusal dengan skor 0 (100%).
Dalam kasus subjek dengan sebelumnya pernah memakai band pada molar pertama permanen, white spot lesi paling sering ditemukan pada sepertiga gingival permukaan bukal dengan skor 2 (49,6%), skor 1 (9,2%) kemudian sepertiga tengah dengan skor 2 (19,3%), skor 4 (12,6%), kemudian pada sepertiga oklusal dengan skor 4 (0,8%). Terjadinya white spot lesi ditemukan signifikan pada sepertiga gingival bagian bukal dan palatal/ permukaan lingual dan juga pada sepertiga tengah bagian bukal dan palatal/ lingual molar pertama permanen, perbandingan dilakukan pada gigi bukal dan palatal/ lingual molar pertama permanen pada kelompok pasca perawatan ortodontik. Terjadinya white spot lesi tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara molar pertama permanen rahang atas dan rahang bawah pada anak-anak dengan tanpa perawatan ortodontik.
Tabel/ Gambar 4 menujukkan persentase regresi white spot lesi pada kelompok perlakuan pasca perawatan ortodontik. Setelah 4 minggu, 17 (27,9%) gigi molar pertama permanen menunjukkan regresi sedangkan 44 (72,1%) gigi molar pertama permanen tidak menujukkan regresi, setelah 8 minggu, 40 (65,5%) gigi menunjukkan regresi, sedangkan 21 (34,4%) gigi menunjukkan regresi dan setelah 12 minggu, 45 (73,8%) gigi menunjukkan regresi perawatan dengan GC Tooth mouse pada kelompok perlakuan pasca perawatan ortodontik.

Pemulihan (Ya/ Tidak) Setelah 4 minggu Setelah 8 minggu Setelah 12 minggu
Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen
Ya 17 27,9 40 65,6 45 73,8
Tidak 44 72,1 21 34,4 16 34,4
Total 61 100 61 100 61 100
Tabel/ Gambar 4 : Persentase pemulihan white spot lesi setelah 4,8, dan 12 miggu pada kelompok post-ortodontik.

Perbedaan T Df Sig (2-tailed)
Rata-rata Standar Deviasi Rata-rata Standar Eror 95% Confidence interval
Lower Upper
BG setelah pelepasan band - BG setelah 4 minggu 0,164 0,610 0,078 0,008 0,320 2,097 60 0,040*
BG setelah pelepasan band - BG setelah 8 minggu 0,656 0,814 0,104 0,447 0,864 6,291 60 <0,001**
BG setelah pelepasan band - BG setelah 12 minggu 1,131 1,087 0,139 0,853 1,410 8,124 60 <0,001**
BM setelah pelepasan band - BM setelah 4 minggu 0,230 0,883 0,113 0,003 0,456 2,030 60 0,047*
BM setelah pelepasan band - BM setelah 8 minggu 0,410 1,116 0,143 0,124 0,696 2,868 60 0,006**
BO setelah pelepasan band - BO setelah 12 minggu 0,066 0,512 0,066 -0,066 0,197 1,000 60 0,321
Tabel/ Gambar 5. Perbedaan rata-rata antara divisi gigi pada permukaan bukal setelah pelepasan band molar pertama permanen dengan interval waktu yang berbeda pada kelompok post-ortodontik (n=20).
(*signifikan statistik , ** signifikan statistic tertinggi menggunakan uji paired-t) BG =sepertiga gingiva permukaan bukal BM = sepertiga tengah permukaan bukal, BO = sepertiga oklusal permukaan bukal.

Tabel/ Gambar 5 menunjukkan perbandingan gigi permukaan bukal pada interval waktu 4 minggu, 8 minggu, dan 12 minggu. Uji t berpasangan dilakukan dengan nilai t <0,001 yang menunjukkan hasil yang signifikan untuk sepertiga gingival dari permukaan bukal pada gigi setelah pelepasan band setelah 8 minggu dan 12 minggu. Hasilnya cukup signifikan pada sepertiga gingival dan sepertiga tengah dari permukaan bukal setelah pelepasan band dan setelah 4 minggu. Hasil yang sangat signifikan untuk sepertiga tengah dari permukaan bukal setelah pelepasan band dan setelah 8 minggu.
Tabel/ Gambar 6 menunjukkan perbandingan gigi permukaan palatal/ lingual pada interval waktu 4 minggu, 8 minggu dan 12 minggu. Uji t berpasangan dengan nilai t <0,001 menunjukkan bahwa hasilnya sangat signifikan untuk sepertiga gingival dari permukaan palatal/lingual setelah pelepasan band dan setelah 8 minggu dan hasilnya juga signifikan pada sepertiga gingival palatal/lingual setelah pelepasan band dan setelah 12 minggu. Hasilnya cukup signifikan untuk sepertiga tengah dari permukaan palatal/lingual setelah pelepasan band dan setelah 4 minggu. Hasil yang sangat signifikan untuk sepertiga tengah dari permukaan palatal/lingual setelah pelepasan band dan setelah 8 minggu. Hasilnya sangat signifikan pada sepertiga tengah dari permukaan palatal/ lingual setelah pelepasan band dan setelah 12 minggu.


Perbedaan T Df Sig (2-tailed)
Rata-rata Standar Deviasi Rata-rata Standar Eror 95% Confidence interval
Lower Upper
P/L G setelah pelepasan band- P/L G setelah 4 minggu 0,033 0,547 0,070 -0,107 0,173 0,468 60 0,641
P/L G setelah pelepasan band – P/L G setelah 8 minggu 0,475 0,673 0,086 0,303 0,648 5,513 60 <0,001**
P/L G setelah pelepasan band – P/L G setelah 12 minggu 0,689 0,904 0,116 0,457 0,920 5,946 60 <0,001**
P/L M setelah pelepasan band – P/L M setelah 4 minggu 0,197 0,601 0,077 0,043 0,351 2,558 60 0,013*
P/L M setelah pelepasan band – P/L M setelah 8 minggu 0,230 0,589 0,075 0,079 0,380 3,045 60 0,003**
P/L M setelah pelepasan band – P/L M setelah 12 minggu 0,295 0,691 0,089 0,118 0,472 3,333 60 0,001**
Tabel/ Gambar 6. Perbedaan rata-rata antara divisi gigi pada permukaan gigi palatal/ lingual setelah pelepasan band molar pertama permanen dengan interval waktu yang berbeda pada kelompok post-ortodontik.
(*signifikan statistik , ** signifikan statistic tertinggi menggunakan uji paired-t) P/L G = sepertiga gingival bagian permukaan palatal/ lingual, P/L M= sepertiga tengah bagian permukaan palatal/lingual.

Diskusi
Demineralisasi merupakan tahap awal dari karies gigi yang dimulai ketika plak melekat pada permukaan gigi untuk durasi waktu yang signifikan. Pada pasien ortodontik, demineralisasi biasanya terjadi dalam bentuk bintik-bintik putih atau coklat pada enamel sekitar breket dan dapat menyebabkan terjadinya kavitas.11
Penelitian ini dilakukan untuk menentukan terjadinya tingkat keparahan dan distribusi white spot lesi pada gigi molar permanen anak yang telah menjalani perawatan ortodontik dan anak-anak tanpa terapi ortodontik. Ada variasi dalam ukuran sampel karena hanya sebagian kecil anak-anak menjalani perawatan ortodontik. Dengan demikian, sulit untuk menemukan besar sampel yang sama pada anak-anak yang menjalani terapi ortodontik. Selanjutnya penelitian ini merupakan penelitian analitik, bukan studi banding; maka ada variasi pada Kelompok I dan Kelompok II. Selain itu, Sagarika N et al., Melakukan studi banding di antara kelompok uji yang terdiri dari 90 subyek yang menjalani perawatan ortodontik untuk jangka waktu 12-15 bulan dan kelompok kontrol yang terdiri dari 90 subjek yang membutuhkan perawatan ortodontik dan menemukan tingkat prevalensi yang tinggi 75,6% di kelompok uji dibandingkan dengan kelompok kontrol 15,6% pada pasien India yang dilaporkan sekitar lima kali lebih sering ditemukan pada pasien ortodontik dibandingkan dengan populasi normal.12
Anak-anak dari kelompok usia 8-16 tahun dilibatkan dalam penelitian ini, anak-anak pada usia ini adalah kelompok anak yang berada di gigi bercampur atau akhir periode pertumbuhan gigi campuran dan sastra menunjukkan bahwa terapi ortodontik cekat biasanya dilakukan dalam periode ini. Manajemen ruang dilakukan dalam periode pertumbuhan gigi campuran dan akhir periode gigi campuran dan manajemen terapi dilakukan setelah erupsi semua gigi molar permanen. Molar pertama permanen dipilih sebagai gigi studi karena gigi ini biasanya dipasangkan band selama terapi ortodontik cekat.
Diagnosis white spot lesi pada gigi molar pertama permanen dilakukan dengan menggunakan International Caries Detection and Assessment System Criteria pada permukaan gigi yaitu kriteria ICDAS II. Metode ini dipilih karena sistem ini mengukur berbagai tahap proses karies. Metode ini dipilih dari tinjauan sistematik literatur tentang sistem deteksi klinis karies dan sumber-sumber lain dan dengan menanamkan teknik baru untuk pengukuran karies gigi.13-14 Dalam penelitian ini distribusi skor ICDAS sulit untuk dijelaskan. Skor 2 (karies enamel terdeteksi pada permukaan gigi yang basah) mungkin lebih mudah untuk mendeteksi dari skor 1 (karies enamel terlihat hanya ketika permukaan gigi kering) dan skor 3 (kavitasi kecil pada enamel saja).
Penelitian ini menemukan perbedaan persentase terjadinya white spot lesi pada permukaan gigi molar permanen dengan dan tanpa band ortodontik dan hasil yang didapatkan kerentanan yang tinggi pada pasien dengan terapi ortodontik cekat terhadap terjadinya white spot lesi. Hal ini menunjukkan bahwa white spot lesi dapat terjadi pada setiap permukaan gigi di rongga mulut di mana biofilm mikroba dapat berkembang dan salah satu faktor perkembangan mikroba tersebut yaitu saat pemakaian band. Terjadinya white spot lesi pada anak-anak tanpa perawatan ortodontik adalah 49,6% dan pada anak-anak dengan white spot lesi pasca-ortodontik pada gigi molar pertama permanen ditemukan menjadi 89,9%. Mahmoud E. dkk, Melaporkan bahwa sebelum perawatan ortodontik, 32,3% dari pasien memiliki white spot lesi (WSL) dan setelah perawatan ortodontik, 73,5% dari pasien dengan WSL dan dengan demikian kejadian WSL selama pengobatan multibracket adalah 60,9% dari pasien.15 Sandvik et al., Melaporkan 11% dan 50%, Lovrov S et al., Melaporkan 15,5% dan 95,3% prevalensi masing-masing white spot lesi tanpa perawatan dan setelah perawatan ortodontik.15-17
Tingginya angka kejadian white spot lesi dalam kelompok setelah perawatan ortodontik pada penelitian ini mungkin karena kelompok usia yang lebih muda atau mungkin karena metode pemeriksaan yang dilakukan. Karena anak-anak tidak mampu menjaga kebersihan mulut mereka sehingga kemungkinan akumulasi plak terjadi sehingga prevalensi white spot lesi tinggi. Data dari penelitian ini menggambarkan bahwa jumlah maksimum white spot lesi pada sepertiga gingival diikuti sepertiga tengah bagian bukal dan palatal permukaan molar pertama permanen pada kelompok pasca perawatan ortodontik. Hal ini menggambarkan bahwa permukaan enamel berbeda di hampir setiap pasien yang menerima perawatan ortodontik cekat. Oleh karena itu bagian permukaan dari gigi beresiko besar ditemukan WSL selama perawatan dan tidak sesuai dengan program karies-preventif.
Remineralisasi email telah menjadi topik yang menarik bagi para peneliti untuk sekitar 100 tahun, dan literatur menyarankan bahwa manajemen non-invasif lesi karies awal dari proses remineralisasi menawarkan metode yang lebih baik untuk manajemen klinis dari penyakit. Untuk bagian pengobatan penelitian ini, CPP-ACP terpilih sebagai obat tersebut. Ini termasuk GRAS (Umumnya Diakui sebagai Aman) oleh Food and Drug Administration Amerika Serikat dan badan pengawas lainnya di seluruh dunia dan dapat dimasukkan ke dalam produk perawatan mulut dan makanan. Keuntungan lain dari terapi ini adalah bahwa produk ini ingestible. Sebaliknya, terapi fluoride topikal menimbulkan risiko jika pasien mencerna sejumlah besar fluoride.18
CPP-ACP telah diakui untuk melokalisasi dan menstabilkan kalsium dan ion fosfat pada permukaan gigi dalam bentuk bioavailable yang dapat mempromosikan remineralisasi lesi email di bawah permukaan, memulihkan penampilan putih buram dari lesi, begitupula pada fluoride . CPP-ACP telah ditunjukkan untuk mempromosikan pembentukan fluorapatite jauh di dalam lesi bawah permukaan dibandingkan fluoride.19
Pukallus M dkk., meneliti efek dari krim kalsium fosfat phosphopeptide-amorf kasein untuk mengurangi Streptococcus mutans dan mengungkapkan penurunan jumlah bakteri.20 Dalam penelitian ini, pengobatan selama 12 minggu dengan GC Tooth Mousse (GC Perusahaan) menghasilkan perbaikan yang signifikan dalam perubahan nilai visual yang dibandingkan dengan awal perawatan. Regresi dari white spot lesi ditemukan menjadi 27,9% setelah empat minggu, 65,6% setelah delapan minggu dan 73,8% setelah dua belas minggu. Data ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bailey dkk., yang menemukan regresi 72% setelah periode intervensi dari 12 minggu .21 Demikian pula Andersson A dkk., ditemukan regresi di 55% dalam uji coba terkontrol secara acak pada 26 subjek.10 Uysal dkk., Menemukan bahwa berkurangnya demineralisasi ketika ACP diberikan pada komposit ortodontik.8 Mohanty P dkk., melakukan studi in-vitro untuk menilai efek dari Novamin® pada demineralisasi enamel disekitar ortodontik dan mengungkapkan bahwa menyikat dengan Novamin® mengandung pasta gigi remineralisasi yang menunjukkan potensi remineralisasi signifikan dalam penghambatan enamel buatan pada sub-permukaan lesi di sekitar braket setelah 10 hari dari fase remineralisasi.22 Jayarajan J dkk., melakukan uji in vitro untuk mengetahui khasiat remineralisasi dari CPP-ACP dan kasein phosphopeptide kalsium amorf fosfat fluoride (CPP-ACPF) dan mengungkapkan bahwa keduanya telah menunjukkan jumlah yang signifikan lebih tinggi dari remineralisasi dari saliva buatan.23 Berbagai penelitian serupa dibandingkan dalam [Tabel /Gambar 7].
Penulis (Tahun) Jenis Penelitian Remineralizing agent Hasil
Shetty S et al., (2014) [24] In-vitro Casein PhosphoPeptide Amorphous Calcium Phosphate (CPP-ACP) [GC Tooth Mousse], Casein PhosphoPeptide Amorphous Calcium Phosphate with Fluoride [CPP-ACPF] [GC Tooth Mousse Plus], Sodium Fluoride [Phos-Flur]. Remineralisasi enamel
Mohanty P et al., (2014) [22] In-vitro Novamin® (Calcium Sodium Phosphosilicate). Signifikan remineralisasi potensi penghambatan pembentukan lesi di permukaan enamel sekitar breket setelah 10 hari dari fase remineralisasi.
Mehta R et al., (2013) [25] In-vitro Casein PhosphoPeptide-Amorphous Calcium Phosphate (CPP-ACP), Casein Phospho Peptide- Amorphous Calcium Fluoride Phosphate (CPP-ACFP). Remineralisasi buatan untuk white spot lesi
Patil N et al., (2013) [26] In-vitro Casein PhosphoPeptide-Amorphous Calcium Phosphate (CPP-ACP), Casein PhosphoPeptide-Amorphous Calcium Phosphate Fluoride (CPP-ACPF), and Tricalcium Phosphate Fluoride (TCP-F). Remineralisasi
Jayarajan J et al., (2011) [23] In-vitro Casein PhosphoPeptide-Amorphous Calcium Phosphate (CPP-ACP) and Casein PhosphoPeptideAmorphous
Calcium Phosphate Fluoride (CPP-ACPF). Remineralisasi.
Uysal T et al., (2010) [8] In-vivo Amorphous Calcium Phosphate-containing orthodontic composite for bonding orthodontic brackets. Demineralisasi berhasil dihambat
Poggio C et al., (2009) [27] In-vitro CPP–ACP paste
(Tooth Mousse). Pelindung enamel saat demineralisasi.
Tabel/ Gambar 7 Perbandingan dari beberapa penelitian yang serupa

Jadi semua uji klinis ini juga diambil bukti klinis bahwa aplikasi harian krim remineralisasi bisa membalikkan keparahan dan visual yang penampilan WSL lebih efektif pada pasien postorthodontic.
Keterbatasan
Batasan penelitian ini adalah bahwa subjek dalam kelompok usia 8-16 tahun yang dievaluasi; penelitian lebih lanjut dengan pasien yang menjalani terapi ortodontik pada berbagai kelompok umur harus dibandingkan untuk menarik kesimpulan lebih lanjut. Namun studi lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki dan mengklarifikasi peran klinis dari sistem remineralisasi berbasis kalsium dan mengenai penerapan CPP-ACP pada pasien pasca-ortodontik dari kelompok usia yang berbeda di berbagai kelompok penduduk.
Penelitian ini dilakukan pada terjadinya white spot lesi di lokasi yang berbeda dari permukaan gigi pada anak-anak dengan dan tanpa terapi ortodontik dan terbukti keberhasilan krim CPP-ACP dalam pengobatan white spot lesi pasca-ortodontik pada kelompok usia 8 sampai 16 tahun. Oleh karena itu terapi CPP-ACP dilakukan minimal dua belas minggu sangat dianjurkan sebagai kebutuhan perawatan pasca-ortodontik pada manajemen white spot lesi pada permukaan gigi yang menjalani terapi ortodontik cekat sesuai dengan penelitian ini.
Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa perbedaan yang signifikan dalam terjadinya white spot lesi pada gigi molar pertama permanen dengan dan tanpa terapi ortodontik dan menunjukkan kerentanan terjadinya white spot lesi yang tinggi pada pasien dengan terapi ortodontik cekat. Terapi CPP-ACP minimal dilakukan selama dua belas minggu sangat dianjurkan sebagai kebutuhan perawatan pasca-ortodontik pada manajemen white spot lesi pada permukaan gigi yang menjalani terapi ortodontik cekat sesuai dengan penelitian ini.
Referensi
1. Khan M, Fida M. White spot lesions in orthodontic patients part I: frequency and pattern of distribution. Journal of Khyber College of Dentistry. 2010;1(1):20-24.
2. Bishara SE and Ostby AW. White spot lesions: formation, prevention and treatment. Semin Orthod. 2008; 14(3):174-82.
3. International Caries Detection and Assessment System Coordinating Committee. Available at: https://www.icdas.org.
4. Mizrahi E. Surface distribution of enamel opacities following orthodontic treatment. Am J Ortho Dentofac Orthop. 1983; 84:323–31.
5. Ekstrand KR, Ricketts DN and Kidd EA. Reproducibility and accuracy of three methods for assessment of demineralization depth on the occlusal surface: an in vitro examination. Caries Res. 1997; 31(3):224-31.
6. Kanthathas K, Willmot DR and Benson PE. Differentiation of developmental and post-orthodontic white lesions using image analysis. Euro J Orthod. 2005; 27:167-72.
7. Benson PE, Parkin N, Millett DT, Dyer FE, Vine S, Shah A. Fluorides for the prevention of white spots on teeth during fixed brace treatment. Cochrane Database Syst Rev. 2004; 3:CD003809.
8. Uysal T, Amasyali M, Ozcan S, Koyuturk AE, Akyol M, Sagdic D. In vivo effects of amorphous calcium phosphate-containing orthodontic composite on enamel demineralization around orthodontic brackets. Aust Dent J. 2010; 55: 285-91.
9. Willmot DR. White lesions after orthodontic treatment: does low fluoride make a difference? J Orthod. 2004;31(3):235-42.
10. Andersson A, Skold-Larsson K, Hallgren A, Petersson LG, Twetman S. Effect of a dental cream containing amorphous calcium phosphate complexes on white spot lesion regression assessed by laser fluorescence. Oral Health Prev Dent. 2007; 5:229-33.
11. Al Maaitah EF, Adeyemi AA, Higham SM, Pender N, Harrison JE. Factors affecting demineralization during orthodontic treatment: a post-hoc analysis of RCT recruits. AJODO. 2011;139(2):181-91.
12. Sagarika N, Suchindran S, Loganathan S, Gopikrishna V. Prevalence of white spot lesion in a section of Indian population undergoing fixed orthodontic treatment: an in vivo assessment using the visual International Caries Detection and Assessment System II criteria. Journal of Conservative Dentistry. 2012; 15(2):104-08.
13. Chang HS, Walsh LJ, Freer TJ. Enamel demineralization during orthodontic treatment, aetiology and prevention. Aust Dent J. 1997; 42(5):322-27.
14. Chesters RK, Pitts NB, Matuliene G, Kvedariene A, Huntington E, Bendinskaite R et al. An abbreviated caries clinical trial design validated over 24 months. J Dent Res. 2002; 81: 637-40.
15. Mahmoud E, Niko B and Ruf S. White-spot lesions during multibracket appliance treatment: a challenge for clinical excellence. Am J Orthod Dentofac Orthop. 2011; 140: e17-24.
16. Sandvik K, Hadler-Olsen S, El-Agroudi M, Ogaard B. Caries and white spot lesions in orthodontically treated adolescents-a prospective study. Eur J Orthod. 2006; 28:e258.
17. Lovrov S, Hertrich K, Hirschfelder U. Enamel demineralization during fixed orthodontic treatment—incidence and correlation to various oral-hygiene parameters. J Orofac Orthop. 2007; 68:353-63.
18. Hawkins R, Locker D, Noble J, Kay EJ. Prevention, part 7: professionally applied topical fluorides for caries prevention. Br Dent J. 2003; 195(6):313-17.
19. Clark, Sarah Elizabeth. Remineralization effectiveness of MI paste plus - a clinical pilot study. MS (Master of Science) thesis, University of Iowa, 2011. http:// ir.uiowa.edu/etd/939.
20. Pukallus ML, Plonka KA, Holcombe TF, Barnett AG, Walsh LJ, Seow WK. A randomized controlled trial of a 10 Percent CPP-ACP cream to reduce mutans Sstreptococci colonization. Pediatric Dentistry. 2013; 35(7):550-55.
21. Bailey DL, Adams GG, Tsao CE, Hyslop A, Escobar K, Manton DJ et al. Regression of post-orthodontic lesions by a remineralizing cream. J Dent Res. 2009; 88(12):1148-153.
22. Mohanty P, Padmanabhan S, Chitharanjan AB. An in vitro evaluation of remineralization potential of novamin on artificial enamel sub-surface lesions around orthodontic brackets using energy dispersive X-ray analysis (Edx). Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2014; 8(11):88-91.
23. Jayarajan J, Janardhanam P, Jayakumar PD. Efficacy of CPP-ACP and CPP-ACPF on enamel remineralization - an in vitro study using scanning electron microscope and DIAGNOdent®. Indian J Dent Res. 2011; 22:77-82.
24. Shetty S, Hegde MN, Bopanna TP. Enamel remineralization assessment after treatment with three different remineralizing agents using surface microhardness: an in vitro study. J Conserv Dent. 2014; 17(1):49–52.
25. Mehta R, Nandlal B, Prashanth S. Comparative evaluation of remineralization potential of casein phosphopeptide amorphous calcium phosphate and casein phosphopeptide amorphous calcium phosphate fluoride on artificial enamel white spot lesion: an in vitro light fluorescence study. Indian Journal of Dental Research. 2013; 24(6): 681- 89.
26. Patil N, Choudhari S, Kulkarni S, Joshi SR. Comparative evaluation of remineralizing potential of three agents on artificially demineralized human enamel: an in vitro study. JCD. 2013;16(2):116-20.
27. Poggio C, Lombardini M, Dagna A, Chiesa M, Bianchi S. Protective effect on enamel demineralization of a CPP–ACP paste: an AFM in vitro study. Journal of Dentistry 2009; 37:949-54.

No comments:

Post a Comment