Thursday 1 December 2016

Casein PhosphoPeptide-Amorphous Calcium Phosphate a.k.a Kasein

Penilaian White Spot Lesi dan Evaluasi pengaruh CPP-ACP pada White Spot Lesi
di Gigi Molar Pertama Permanen pada Anak secara In-Vivo

Deepti Munjal, Shalini garg, Abhishek Dhinds A, Gagandeep kaur sidhu, Harsimran singh sethi

Abstrak
Pendahuluan : Salah satu penghambat terjadinya proses remineralisasi yang terjadi selama terapi ortodontik yang mengakibatkan dekalsifikasi enamel dikarenakan retensi plak yang meningkat pada prosedur pengaplikasian band dan bonding.
Tujuan : Penelitian analitik dilakukan untuk menilai terjadinya white spot lesi pada gigi molar permanen pada anak-anak dengan dan tanpa terapi ortodontik serta untuk mengevaluasi efek dari Casein PhosphoPeptide-Amorphous Calcium Phosphate (CPP-ACP) pada white spot lesi di pasien setelah perawatan ortodontik dalam jangka waktu tertentu.
Bahan dan Metode : Penelitian ini terdiri dari pemeriksaan 679 molar pertama untuk menilai terjadinya white spot lesi pada permukaan gigi anak-anak dari kelompok usia 8-16 tahun. Kelompok I terdiri dari anak-anak tanpa perawatan ortodontik sebelumnya dan Kelompok II terdiri dari anak-anak yang telah menjalani terapi ortodontik. Besar sampel dihitung menggunakan aplikasi computer epi-info6. Kelompok perlakuan adalah 20 anak pasca perawatan ortodontik yang diperiksa dengan setidaknya memiliki satu white spot lesi pada enamel gigi yang akan diberikan krim remineralisasi (CG Tooth Mousse, Recaldent, GC, Corporation) yaitu krim CPP-ACP dua kali sehari selama 12 minggu berturut-turut. Metode computerized image analysis digunakan untuk mengevaluasi white spot lesi. Frekuensi dan persentase digunakan dalam uji chi-square. Uji t digunakan untuk melihat perbandingan data numerik.
Hasil : Sebanyak 278 (49,6%) molar pertama permanen menunjukkan terjadinya white spot lesi pada permukaan gigi dari 560 molar pertama pada kelompok I dan sebanyak 107 (89,9%) molar pertama permanen menunjukkan adanya white spot lesi dari 119 molar pertama permanen anak-anak yang pernah dipasangkan band di kelompok II. Kelompok perawatan CPP-ACP menunjukkan penurunan skor keparahan yang sangat signifikan setelah 8 minggu hingga12 minggu pada sepertiga gingiva, dengan nilai p (<0,001) dan signifikan setelah 4-8 minggu pada sepertiga bagian tengah permukaan gigi, sesuai dengan kriteria ICDAS II dengan computerized image analysis. Kesimpulan : Terapi CPP-ACP minimal selama 12 minggu sangat dianjurkan sebagai kebutuhan perawatan pasca-ortodontik pada perawatan white spot lesi pada permukaan gigi yang telah dilakukan perawatan ortodontik cekat sebelumnya sesuai dalam penelitian ini. Kata kunci : Casein PhosphoPeptide-Amorphous Calcium Phosphate, dekalsifikasi, lesi karies baru, Ortodontik Pendahuluan White spot lesi didefenisikan sebagai sub-porositas pada permukaan enamel dari demineralisasi karies yang menghasilkan warna seperti susu putih yang berada pada permukaan gigi. White spot lesi telah disebut sebagai efek iatrogenik pada perawatan ortodontik cekat.1 Jumlah plak yang meningkat pada prosedur pengaplikasian band dan bonding alat ortodontik di gigi, karena itu menjaga kebersihan mulut menjadi sulit. Ph yang berkurang dan plak disekitar band ortodontik menyebabkan sulitnya proses remineralisasi enamel sehingga proses dekalsifikasi berlangsung.2 Diagnosis dan penilaian klinis white spot lesi adalah tantangan terbesar bagi para peneliti. Kriteria International Caries Detection and Assesment System II (ICDAS II) dikembangkan untuk mengintegrasikan beberapa sistem kriteria baru dalam satu sistem standar untuk deteksi dan penilaian karies.3 Hal ini untuk menentukan kedalaman histologis serta perubahan permukaan lesi karies dengan mengamati karakteristik permukaan gigi.4 Sebuah metode dengan menggunakan software baru dengan computerized image analysis digunakan untuk menilai efek klinis dari perawatan yang digunakan dalam perawatan white spot lesi.5 Penilaian demineralisasi enamel dari gambar berwarna tampaknya lebih baik dari pengamatan klinis secara langsung dengan mata telanjang. Prevelensi white spot lesi pada pasien ortodontik telah dilaporkan 2%-96%.6 Mengingat posisi yang ditempati band ortodontik pada mahkota gigi, setelah perawatan ortodontik, distribusi lesi pada gigi terkait pada posisi dan karakteristik masing-masing gigi. Peningkatan terbesar pada sepertiga servikal dan permukaan tengah vestibular gigi tersebut.7 Namun, dari laporan studi intervensi in-vivo dalam mengobati white spot lesi pada pasien pasca perawatan ortodontik sangat terbatas.8 Potensi CPP-ACP untuk mencegah demineralisasi enamel dan merangsang remineralisasi telah dicoba pada karies hewan, model in vitro, human in situ dan uji klinis.9 Adanya kandungan ion kalsium fosfat secara bebas pada CPP-ACP membantu reformasi Kristal kalsium fosfat pada enamel.10 CPP-ACP nano kompleks akan menstablikan ion kalsium dan fosfat, mencegah transformasi ke fase Kristal dan mempertahankan keadaan yang stabil.9 Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari terjadinya white spot lesi pada gigi molar permanen anak-anak dengan dan tanpa terapi ortodontik dan untuk menilai efek dari CPP-ACP secara in vivo pada white spot lesi pada pasien pasca perawatan ortodontik dalam jangka waktu tertentu. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menerapkan pengetahuan dalam pencegahan terjadinya penyakit selama terapi ortodontik pada anak-anak. Bahan dan Metode Penelitian Analitik dan prospektif dilakukan di Departemen Pediatrics & Preventive Dentistry yang berkoordinasi dengan Departemen Ortodonsi, M.M College of Dental Sciences and Research, Muliana, Ambala, Haryana, India. Penelitian ini terdiri dari pemeriksaan 679 molar pertama permanen pada anak-anak kelompok usia 8-16 tahun dan 20 anak diantaranya adalah pasien pasca perawatan ortodontik dengan setidaknya memiliki satu white spot lesi pada giginya. Penelitian dilakukan dalam dua bagian. Pada bagian pertama, analisis dilakukan dengan pemeriksaan 679 molar pertama permanen yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok I terdiri dari 560 molar pertama permanen yang diperiksa untuk menilai terjadinya white spot lesi di permukaan gigi pada anak-anak yang tidak menjalani perawatan ortodontik. Kelompok II terdiri dari pemeriksaan 119 molar pertama permanen untuk menilai terjadinya white spot lesi di permukaan gigi pada anak-anak yang telah menjalani terapi ortodontik, setelah perawatan ortodontik dan setelah pelepasan band. Semua sampel tersebut diperiksa sesuai pedoman dari protokol penelitian. Besar sampel dihitung menggunakan aplikasi epi-info6 oleh ahli statistik. Jumlah molar pertama permanen diambil untuk penentuan prevelensi terjadinya white spot lesi karena etiologi yang tidak diketahui, pada populasi normal diambil kelompok khusus dengan etiologi yang diketahui, yaitu terapi ortodontik. Penelitian ini telah disetujui oleh komite etik dan diperoleh informed consent dari anak-anak dan walinya. Pada permukaan bukal dan palatal/lingual gigi molar pertama permanen di setiap kuadran diperiksa adanya white spot lesi sesuai dengan kriteria ICDAS II.3 Skor untuk deteksi dan kalsifikasi lesi karies pada permukaan gigi menurut kriteria ICDAS II adalah sebagai berikut : Skor 0 : Permukaan gigi normal Skor 1 : Perubahan awal pada tampilan enamel Skor 2 : Perubahan pada enamel dalam keadaan basah Skor 3 : Kerusakan awal enamel karena karies tanpa melibatkan dentin Skor 4 :Adanya bayangan gelap di bawah dentin dengan atau tanpa melibatkan kerusakan enamel. Uji kalibrasi dilakukan sebelum dimulainya penelitian untuk kesesuaian penelitian. Sehingga resiko terjadinya kesalahan metodologis menjadi minim. Pada kelompok I, dua sekolah dipilih secara random sampling untuk pemeriksaan di kelompok usia 8-16 tahun. Surat izin diambil dari masing-masing pihak sekolah. Umur dikonfirmasi dengan akte kelahiran dan informasi diberikan dari catatan di sekolah. Bertempat di taman bermain sekolah yang telah disediakan oleh pihak sekolah, anak-anak dibuat nyaman dan duduk di kursi dengan tegak dan diperiksa di bawah cahaya alami. Sebelum pemeriksaan, retractor pipi di masukkan ke mulut dan permukaan gigi dibersihkan dengan kapas dan dikeringkan dengan chip blower. Sebuah instrumen berbentuk bola digunakan untuk membantu dalam pemeriksaan. Sebelum pemeriksaan, skelling ultrasonic pada gigi dilakukan untuk menghilangkan plak pada semua permukaan gigi dan dipoles dengan pumice sebagai profilaksis. Skelling ultrasonic dilakukan di mobil van milik perguruan tinggi yang dilengkapi dengan fasilitas ultrasonic. Pada kelompok II, anak-anak berusia 8-16 tahun yang sebelumnya menjalani perawatan ortodontik di departemen ortodontik diperiksa. Sebanyak 119 molar pertama permanen diperiksa, anak-anak dibuat nyaman duduk di kursi dan diperiksa di bawah cahaya alami, prosedur yang sama seperti kelompok I, untuk medeteksi white spot lesi menggunakan kriteria ICDAS II untuk melihat keparahan lesi. Setelah dilakukan pemeriksaan klinis, dilakukan foto pada molar pertama permanen menggunakan kamera digital. Untuk bagian selanjutnya bagian kedua, 20 pasien pasca perawatan ortodontik yang setuju berpartisipasi dalam penelitian ini dan memiliki white spot lesi yang berdekatan dengan gingival atau berada di sepertiga dari gigi dengan ukuran 2 mm atau lebih besar dari 2mm yang dipilih sebagai kelompok perlakuan. Subjek penelitian dan orangtua mereka menerima dan menandatangani informed consent. Subjek yang dipilih menerima perlakuan pemberian krim remineralisasi (CG Tooth Mousse, Recaldent, GC Corporation) di bagian pengobatan penelitian. Subjek tersebut diinstruksikan untuk membersihkan gigi sehari-hari menggunakan pasta gigi dan sikat gigi dengan tekstur yang lembut, kemudian pasien diinstruksikan untuk menerapkan sejumlah krim CPP-ACP dua kali sehari selama 12 minggu berturut-turut. Pasien diinstruksikan untuk membuat grafik diet dan mengisi kalender yang diberikan. Sebelum perawatan dan setelah perawatan, permukaan bukal dan palatal/lingual gigi molar pertama permanen dicatat dari 20 pasien perlakuan yang ditemukan white spot lesi pada giginya. Nomor identifikasi diberikan kepada setiap pasien untuk mempersiapkan data untuk evaluasi statistic dan diperiksa setiap 4,8, dan 12 minggu sesuai dengan kriteria ICDAS II. Kriteria ICDAS II diberikan pada setiap kunjungan dan setiap lesi diamati. Minimal satu white spot lesi yang paling parah di permukaan gingival dipilih untuk di tindak lanjut. Pengaruh krim remineralisasi terlihat dari kenaikan atau penurunan skor setelah 4,8, dan 12 minggu. Jika lesi sembuh maka memenuhi kriteria, yaitu dengan skor 0 (permukaan gigi normal). Foto digital dari molar pertama permanen diambil menggunakan Sony Cyber-shot DSC-H55 dengan kamera 14,1 mega pixel, 2mm widge-angle lensa G dengan 10x optical zoom. Gambar diambil menggunakan kamera dan disimpan dalam format JPEG. Kemudian dengan menggunakan Adobe Photoshop versi 7.0 dengan bagian tepi gambar di filter dan menggunakan brush pada tepi foto. Kemudian gambar tersebut disimpan sebagai format baru file JPEG. Gambar-gambar tersebut dengan hati-hati diperiksa dan white spot lesi diidentifikasi dan ditelusuri menggunakan free hand tool dan computer mouse. Penilaian klinis dan perubahan white spot lesi dilakukan dengan membandingkan catatan sebelum terapi dan pasca terapi. [Tabel/Gambar 1,2] [Tabel/Gambar 1a-c] : Perwakilan foto yang menunjukkan penurunan skor ICDAS II setelah perawatan dengan krim CPP-ACP. (a) molar pertama permanen dengan tepi yang menunjukkan skor 2 dalam kriteria ICDAS II. (b) molar pertama permanen dengan tepi yang masih menunjukkan skor 2 dalam kriteria ICDAS II. (c) Setelah intervensi 12 minggu, menunjukkan gigi molar pertama permanen dengan skor 0 kriteria ICDAS II. [Tabel /Gambar 2a-c] : Molar 1 permanen menunjukkan skor 1 dari kriteria ICDAS II, setelah intervensi 12 minggu. Molar 1 permanen menunjukkan tanda white spot lesi. Molar 1 permanen dengan tepi yang menunjukkan skor 2 dari kriteria ICDAS II. Perwakilan foto menunjukkan penurunan kode kriteria ICDAS II setelah perawatan dengan krim CPP-ACP. Transisi untuk setiap white spot lesi antara baseline dan penilaian lanjut diberi skor sesuai dengan matriks transisi. Regresi lesi ditampung, dengan (<) diberikan saat transisi ke nilai yang tidak parah atau berkurang terjadi. (>) diberikan saat ada perkembangan lesi, dan stabil (S) mewakili lesi stabil yang tidak naik maupun turun. Untuk data numerik, standar devisi dihitung. Untuk data kategori, frekuensi dan persentase dihitung. Frekuensi dan presentase dibandingkan dengan menggunakan uji chi-square. Untuk perbandingan data numeric, digunakan t-test.
Hasil
Hasil penelitian ini menujukkan sebanyak 278 (49,6%) molar pertama permanen, 132 (47,48%) rahang atas dan 146 (52,52%) rahang bawah yang menunjukkan terjadinya white spot lesi pada permukaan gigi dari 560 molar pertama permanen anak-anak tanpa perawatan ortodontik sebelumnya yang diperiksa pada kelompok usia 8-16 tahun dengan kriteria ICDAS II. Sebanyak 107 (89,9%) molar pertama permanen, 52 (48,6%) rahang atas dan 55 (51,40%) rahang bawah molar pertama permanen menunjukkan adanya white spot lesi dari 119 molar pertama permanen anak-anak yang diperiksa dalam kelompok usia 8-16 tahun pada pasien pasca perawatan ortodontik [Tabel/ gambar 3]. Untuk membandingkan dan mengevaluasi perbedaan dalam terjadinya white spot lesi pada kelompok dengan dan tanpa perawatan ortodontik. Uji chi-square diterapkan, didapatkan nilai p <0,0001 dengan nilai chi-square 64,84%.

White spot lesi Kelompok I
molar pertama permanen tanpa perawatan ortodontik Kelompok II
molar pertama permanen dengan perawatan ortodontik Nilai p
Frekuensi Persen Frekuensi Persen
Tidak ada 282 50,3% 12 10,1% <0,0001**
Ada 278 49,6% 107 89,9%
Total 560 100,0% 119 100,0%
Molar pertama permanen rahang atas 132 47,48 52 48,60% 0,251
Molar pertama permanen rahang bawah 146 52,52 55 51,40%
Tabel/ Gambar 3 : Frekuensi white spot lesi pada molar pertama permanen dengan dan tanpa perawatan ortodontik
(*Signifikan statistic, **Signifikan statistic tertinggi menggunakan uji chi-square)

Pada subjek tanpa perawatan ortodontik, white spot lesi umumnya ditemukan pada sepertiga gingival bagian bukal dengan skor 1(18,95) skor 2 (14,3%) kemudian sepertiga tengah permukaan gigi dengan skor 2 (4,6%), skor 1 (0,7%), skor 3 (0,4%) dan pada bagian sepertiga oklusal dengan skor 0 (100%).
Dalam kasus subjek dengan sebelumnya pernah memakai band pada molar pertama permanen, white spot lesi paling sering ditemukan pada sepertiga gingival permukaan bukal dengan skor 2 (49,6%), skor 1 (9,2%) kemudian sepertiga tengah dengan skor 2 (19,3%), skor 4 (12,6%), kemudian pada sepertiga oklusal dengan skor 4 (0,8%). Terjadinya white spot lesi ditemukan signifikan pada sepertiga gingival bagian bukal dan palatal/ permukaan lingual dan juga pada sepertiga tengah bagian bukal dan palatal/ lingual molar pertama permanen, perbandingan dilakukan pada gigi bukal dan palatal/ lingual molar pertama permanen pada kelompok pasca perawatan ortodontik. Terjadinya white spot lesi tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara molar pertama permanen rahang atas dan rahang bawah pada anak-anak dengan tanpa perawatan ortodontik.
Tabel/ Gambar 4 menujukkan persentase regresi white spot lesi pada kelompok perlakuan pasca perawatan ortodontik. Setelah 4 minggu, 17 (27,9%) gigi molar pertama permanen menunjukkan regresi sedangkan 44 (72,1%) gigi molar pertama permanen tidak menujukkan regresi, setelah 8 minggu, 40 (65,5%) gigi menunjukkan regresi, sedangkan 21 (34,4%) gigi menunjukkan regresi dan setelah 12 minggu, 45 (73,8%) gigi menunjukkan regresi perawatan dengan GC Tooth mouse pada kelompok perlakuan pasca perawatan ortodontik.

Pemulihan (Ya/ Tidak) Setelah 4 minggu Setelah 8 minggu Setelah 12 minggu
Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen
Ya 17 27,9 40 65,6 45 73,8
Tidak 44 72,1 21 34,4 16 34,4
Total 61 100 61 100 61 100
Tabel/ Gambar 4 : Persentase pemulihan white spot lesi setelah 4,8, dan 12 miggu pada kelompok post-ortodontik.

Perbedaan T Df Sig (2-tailed)
Rata-rata Standar Deviasi Rata-rata Standar Eror 95% Confidence interval
Lower Upper
BG setelah pelepasan band - BG setelah 4 minggu 0,164 0,610 0,078 0,008 0,320 2,097 60 0,040*
BG setelah pelepasan band - BG setelah 8 minggu 0,656 0,814 0,104 0,447 0,864 6,291 60 <0,001**
BG setelah pelepasan band - BG setelah 12 minggu 1,131 1,087 0,139 0,853 1,410 8,124 60 <0,001**
BM setelah pelepasan band - BM setelah 4 minggu 0,230 0,883 0,113 0,003 0,456 2,030 60 0,047*
BM setelah pelepasan band - BM setelah 8 minggu 0,410 1,116 0,143 0,124 0,696 2,868 60 0,006**
BO setelah pelepasan band - BO setelah 12 minggu 0,066 0,512 0,066 -0,066 0,197 1,000 60 0,321
Tabel/ Gambar 5. Perbedaan rata-rata antara divisi gigi pada permukaan bukal setelah pelepasan band molar pertama permanen dengan interval waktu yang berbeda pada kelompok post-ortodontik (n=20).
(*signifikan statistik , ** signifikan statistic tertinggi menggunakan uji paired-t) BG =sepertiga gingiva permukaan bukal BM = sepertiga tengah permukaan bukal, BO = sepertiga oklusal permukaan bukal.

Tabel/ Gambar 5 menunjukkan perbandingan gigi permukaan bukal pada interval waktu 4 minggu, 8 minggu, dan 12 minggu. Uji t berpasangan dilakukan dengan nilai t <0,001 yang menunjukkan hasil yang signifikan untuk sepertiga gingival dari permukaan bukal pada gigi setelah pelepasan band setelah 8 minggu dan 12 minggu. Hasilnya cukup signifikan pada sepertiga gingival dan sepertiga tengah dari permukaan bukal setelah pelepasan band dan setelah 4 minggu. Hasil yang sangat signifikan untuk sepertiga tengah dari permukaan bukal setelah pelepasan band dan setelah 8 minggu.
Tabel/ Gambar 6 menunjukkan perbandingan gigi permukaan palatal/ lingual pada interval waktu 4 minggu, 8 minggu dan 12 minggu. Uji t berpasangan dengan nilai t <0,001 menunjukkan bahwa hasilnya sangat signifikan untuk sepertiga gingival dari permukaan palatal/lingual setelah pelepasan band dan setelah 8 minggu dan hasilnya juga signifikan pada sepertiga gingival palatal/lingual setelah pelepasan band dan setelah 12 minggu. Hasilnya cukup signifikan untuk sepertiga tengah dari permukaan palatal/lingual setelah pelepasan band dan setelah 4 minggu. Hasil yang sangat signifikan untuk sepertiga tengah dari permukaan palatal/lingual setelah pelepasan band dan setelah 8 minggu. Hasilnya sangat signifikan pada sepertiga tengah dari permukaan palatal/ lingual setelah pelepasan band dan setelah 12 minggu.


Perbedaan T Df Sig (2-tailed)
Rata-rata Standar Deviasi Rata-rata Standar Eror 95% Confidence interval
Lower Upper
P/L G setelah pelepasan band- P/L G setelah 4 minggu 0,033 0,547 0,070 -0,107 0,173 0,468 60 0,641
P/L G setelah pelepasan band – P/L G setelah 8 minggu 0,475 0,673 0,086 0,303 0,648 5,513 60 <0,001**
P/L G setelah pelepasan band – P/L G setelah 12 minggu 0,689 0,904 0,116 0,457 0,920 5,946 60 <0,001**
P/L M setelah pelepasan band – P/L M setelah 4 minggu 0,197 0,601 0,077 0,043 0,351 2,558 60 0,013*
P/L M setelah pelepasan band – P/L M setelah 8 minggu 0,230 0,589 0,075 0,079 0,380 3,045 60 0,003**
P/L M setelah pelepasan band – P/L M setelah 12 minggu 0,295 0,691 0,089 0,118 0,472 3,333 60 0,001**
Tabel/ Gambar 6. Perbedaan rata-rata antara divisi gigi pada permukaan gigi palatal/ lingual setelah pelepasan band molar pertama permanen dengan interval waktu yang berbeda pada kelompok post-ortodontik.
(*signifikan statistik , ** signifikan statistic tertinggi menggunakan uji paired-t) P/L G = sepertiga gingival bagian permukaan palatal/ lingual, P/L M= sepertiga tengah bagian permukaan palatal/lingual.

Diskusi
Demineralisasi merupakan tahap awal dari karies gigi yang dimulai ketika plak melekat pada permukaan gigi untuk durasi waktu yang signifikan. Pada pasien ortodontik, demineralisasi biasanya terjadi dalam bentuk bintik-bintik putih atau coklat pada enamel sekitar breket dan dapat menyebabkan terjadinya kavitas.11
Penelitian ini dilakukan untuk menentukan terjadinya tingkat keparahan dan distribusi white spot lesi pada gigi molar permanen anak yang telah menjalani perawatan ortodontik dan anak-anak tanpa terapi ortodontik. Ada variasi dalam ukuran sampel karena hanya sebagian kecil anak-anak menjalani perawatan ortodontik. Dengan demikian, sulit untuk menemukan besar sampel yang sama pada anak-anak yang menjalani terapi ortodontik. Selanjutnya penelitian ini merupakan penelitian analitik, bukan studi banding; maka ada variasi pada Kelompok I dan Kelompok II. Selain itu, Sagarika N et al., Melakukan studi banding di antara kelompok uji yang terdiri dari 90 subyek yang menjalani perawatan ortodontik untuk jangka waktu 12-15 bulan dan kelompok kontrol yang terdiri dari 90 subjek yang membutuhkan perawatan ortodontik dan menemukan tingkat prevalensi yang tinggi 75,6% di kelompok uji dibandingkan dengan kelompok kontrol 15,6% pada pasien India yang dilaporkan sekitar lima kali lebih sering ditemukan pada pasien ortodontik dibandingkan dengan populasi normal.12
Anak-anak dari kelompok usia 8-16 tahun dilibatkan dalam penelitian ini, anak-anak pada usia ini adalah kelompok anak yang berada di gigi bercampur atau akhir periode pertumbuhan gigi campuran dan sastra menunjukkan bahwa terapi ortodontik cekat biasanya dilakukan dalam periode ini. Manajemen ruang dilakukan dalam periode pertumbuhan gigi campuran dan akhir periode gigi campuran dan manajemen terapi dilakukan setelah erupsi semua gigi molar permanen. Molar pertama permanen dipilih sebagai gigi studi karena gigi ini biasanya dipasangkan band selama terapi ortodontik cekat.
Diagnosis white spot lesi pada gigi molar pertama permanen dilakukan dengan menggunakan International Caries Detection and Assessment System Criteria pada permukaan gigi yaitu kriteria ICDAS II. Metode ini dipilih karena sistem ini mengukur berbagai tahap proses karies. Metode ini dipilih dari tinjauan sistematik literatur tentang sistem deteksi klinis karies dan sumber-sumber lain dan dengan menanamkan teknik baru untuk pengukuran karies gigi.13-14 Dalam penelitian ini distribusi skor ICDAS sulit untuk dijelaskan. Skor 2 (karies enamel terdeteksi pada permukaan gigi yang basah) mungkin lebih mudah untuk mendeteksi dari skor 1 (karies enamel terlihat hanya ketika permukaan gigi kering) dan skor 3 (kavitasi kecil pada enamel saja).
Penelitian ini menemukan perbedaan persentase terjadinya white spot lesi pada permukaan gigi molar permanen dengan dan tanpa band ortodontik dan hasil yang didapatkan kerentanan yang tinggi pada pasien dengan terapi ortodontik cekat terhadap terjadinya white spot lesi. Hal ini menunjukkan bahwa white spot lesi dapat terjadi pada setiap permukaan gigi di rongga mulut di mana biofilm mikroba dapat berkembang dan salah satu faktor perkembangan mikroba tersebut yaitu saat pemakaian band. Terjadinya white spot lesi pada anak-anak tanpa perawatan ortodontik adalah 49,6% dan pada anak-anak dengan white spot lesi pasca-ortodontik pada gigi molar pertama permanen ditemukan menjadi 89,9%. Mahmoud E. dkk, Melaporkan bahwa sebelum perawatan ortodontik, 32,3% dari pasien memiliki white spot lesi (WSL) dan setelah perawatan ortodontik, 73,5% dari pasien dengan WSL dan dengan demikian kejadian WSL selama pengobatan multibracket adalah 60,9% dari pasien.15 Sandvik et al., Melaporkan 11% dan 50%, Lovrov S et al., Melaporkan 15,5% dan 95,3% prevalensi masing-masing white spot lesi tanpa perawatan dan setelah perawatan ortodontik.15-17
Tingginya angka kejadian white spot lesi dalam kelompok setelah perawatan ortodontik pada penelitian ini mungkin karena kelompok usia yang lebih muda atau mungkin karena metode pemeriksaan yang dilakukan. Karena anak-anak tidak mampu menjaga kebersihan mulut mereka sehingga kemungkinan akumulasi plak terjadi sehingga prevalensi white spot lesi tinggi. Data dari penelitian ini menggambarkan bahwa jumlah maksimum white spot lesi pada sepertiga gingival diikuti sepertiga tengah bagian bukal dan palatal permukaan molar pertama permanen pada kelompok pasca perawatan ortodontik. Hal ini menggambarkan bahwa permukaan enamel berbeda di hampir setiap pasien yang menerima perawatan ortodontik cekat. Oleh karena itu bagian permukaan dari gigi beresiko besar ditemukan WSL selama perawatan dan tidak sesuai dengan program karies-preventif.
Remineralisasi email telah menjadi topik yang menarik bagi para peneliti untuk sekitar 100 tahun, dan literatur menyarankan bahwa manajemen non-invasif lesi karies awal dari proses remineralisasi menawarkan metode yang lebih baik untuk manajemen klinis dari penyakit. Untuk bagian pengobatan penelitian ini, CPP-ACP terpilih sebagai obat tersebut. Ini termasuk GRAS (Umumnya Diakui sebagai Aman) oleh Food and Drug Administration Amerika Serikat dan badan pengawas lainnya di seluruh dunia dan dapat dimasukkan ke dalam produk perawatan mulut dan makanan. Keuntungan lain dari terapi ini adalah bahwa produk ini ingestible. Sebaliknya, terapi fluoride topikal menimbulkan risiko jika pasien mencerna sejumlah besar fluoride.18
CPP-ACP telah diakui untuk melokalisasi dan menstabilkan kalsium dan ion fosfat pada permukaan gigi dalam bentuk bioavailable yang dapat mempromosikan remineralisasi lesi email di bawah permukaan, memulihkan penampilan putih buram dari lesi, begitupula pada fluoride . CPP-ACP telah ditunjukkan untuk mempromosikan pembentukan fluorapatite jauh di dalam lesi bawah permukaan dibandingkan fluoride.19
Pukallus M dkk., meneliti efek dari krim kalsium fosfat phosphopeptide-amorf kasein untuk mengurangi Streptococcus mutans dan mengungkapkan penurunan jumlah bakteri.20 Dalam penelitian ini, pengobatan selama 12 minggu dengan GC Tooth Mousse (GC Perusahaan) menghasilkan perbaikan yang signifikan dalam perubahan nilai visual yang dibandingkan dengan awal perawatan. Regresi dari white spot lesi ditemukan menjadi 27,9% setelah empat minggu, 65,6% setelah delapan minggu dan 73,8% setelah dua belas minggu. Data ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bailey dkk., yang menemukan regresi 72% setelah periode intervensi dari 12 minggu .21 Demikian pula Andersson A dkk., ditemukan regresi di 55% dalam uji coba terkontrol secara acak pada 26 subjek.10 Uysal dkk., Menemukan bahwa berkurangnya demineralisasi ketika ACP diberikan pada komposit ortodontik.8 Mohanty P dkk., melakukan studi in-vitro untuk menilai efek dari Novamin® pada demineralisasi enamel disekitar ortodontik dan mengungkapkan bahwa menyikat dengan Novamin® mengandung pasta gigi remineralisasi yang menunjukkan potensi remineralisasi signifikan dalam penghambatan enamel buatan pada sub-permukaan lesi di sekitar braket setelah 10 hari dari fase remineralisasi.22 Jayarajan J dkk., melakukan uji in vitro untuk mengetahui khasiat remineralisasi dari CPP-ACP dan kasein phosphopeptide kalsium amorf fosfat fluoride (CPP-ACPF) dan mengungkapkan bahwa keduanya telah menunjukkan jumlah yang signifikan lebih tinggi dari remineralisasi dari saliva buatan.23 Berbagai penelitian serupa dibandingkan dalam [Tabel /Gambar 7].
Penulis (Tahun) Jenis Penelitian Remineralizing agent Hasil
Shetty S et al., (2014) [24] In-vitro Casein PhosphoPeptide Amorphous Calcium Phosphate (CPP-ACP) [GC Tooth Mousse], Casein PhosphoPeptide Amorphous Calcium Phosphate with Fluoride [CPP-ACPF] [GC Tooth Mousse Plus], Sodium Fluoride [Phos-Flur]. Remineralisasi enamel
Mohanty P et al., (2014) [22] In-vitro Novamin® (Calcium Sodium Phosphosilicate). Signifikan remineralisasi potensi penghambatan pembentukan lesi di permukaan enamel sekitar breket setelah 10 hari dari fase remineralisasi.
Mehta R et al., (2013) [25] In-vitro Casein PhosphoPeptide-Amorphous Calcium Phosphate (CPP-ACP), Casein Phospho Peptide- Amorphous Calcium Fluoride Phosphate (CPP-ACFP). Remineralisasi buatan untuk white spot lesi
Patil N et al., (2013) [26] In-vitro Casein PhosphoPeptide-Amorphous Calcium Phosphate (CPP-ACP), Casein PhosphoPeptide-Amorphous Calcium Phosphate Fluoride (CPP-ACPF), and Tricalcium Phosphate Fluoride (TCP-F). Remineralisasi
Jayarajan J et al., (2011) [23] In-vitro Casein PhosphoPeptide-Amorphous Calcium Phosphate (CPP-ACP) and Casein PhosphoPeptideAmorphous
Calcium Phosphate Fluoride (CPP-ACPF). Remineralisasi.
Uysal T et al., (2010) [8] In-vivo Amorphous Calcium Phosphate-containing orthodontic composite for bonding orthodontic brackets. Demineralisasi berhasil dihambat
Poggio C et al., (2009) [27] In-vitro CPP–ACP paste
(Tooth Mousse). Pelindung enamel saat demineralisasi.
Tabel/ Gambar 7 Perbandingan dari beberapa penelitian yang serupa

Jadi semua uji klinis ini juga diambil bukti klinis bahwa aplikasi harian krim remineralisasi bisa membalikkan keparahan dan visual yang penampilan WSL lebih efektif pada pasien postorthodontic.
Keterbatasan
Batasan penelitian ini adalah bahwa subjek dalam kelompok usia 8-16 tahun yang dievaluasi; penelitian lebih lanjut dengan pasien yang menjalani terapi ortodontik pada berbagai kelompok umur harus dibandingkan untuk menarik kesimpulan lebih lanjut. Namun studi lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki dan mengklarifikasi peran klinis dari sistem remineralisasi berbasis kalsium dan mengenai penerapan CPP-ACP pada pasien pasca-ortodontik dari kelompok usia yang berbeda di berbagai kelompok penduduk.
Penelitian ini dilakukan pada terjadinya white spot lesi di lokasi yang berbeda dari permukaan gigi pada anak-anak dengan dan tanpa terapi ortodontik dan terbukti keberhasilan krim CPP-ACP dalam pengobatan white spot lesi pasca-ortodontik pada kelompok usia 8 sampai 16 tahun. Oleh karena itu terapi CPP-ACP dilakukan minimal dua belas minggu sangat dianjurkan sebagai kebutuhan perawatan pasca-ortodontik pada manajemen white spot lesi pada permukaan gigi yang menjalani terapi ortodontik cekat sesuai dengan penelitian ini.
Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa perbedaan yang signifikan dalam terjadinya white spot lesi pada gigi molar pertama permanen dengan dan tanpa terapi ortodontik dan menunjukkan kerentanan terjadinya white spot lesi yang tinggi pada pasien dengan terapi ortodontik cekat. Terapi CPP-ACP minimal dilakukan selama dua belas minggu sangat dianjurkan sebagai kebutuhan perawatan pasca-ortodontik pada manajemen white spot lesi pada permukaan gigi yang menjalani terapi ortodontik cekat sesuai dengan penelitian ini.
Referensi
1. Khan M, Fida M. White spot lesions in orthodontic patients part I: frequency and pattern of distribution. Journal of Khyber College of Dentistry. 2010;1(1):20-24.
2. Bishara SE and Ostby AW. White spot lesions: formation, prevention and treatment. Semin Orthod. 2008; 14(3):174-82.
3. International Caries Detection and Assessment System Coordinating Committee. Available at: https://www.icdas.org.
4. Mizrahi E. Surface distribution of enamel opacities following orthodontic treatment. Am J Ortho Dentofac Orthop. 1983; 84:323–31.
5. Ekstrand KR, Ricketts DN and Kidd EA. Reproducibility and accuracy of three methods for assessment of demineralization depth on the occlusal surface: an in vitro examination. Caries Res. 1997; 31(3):224-31.
6. Kanthathas K, Willmot DR and Benson PE. Differentiation of developmental and post-orthodontic white lesions using image analysis. Euro J Orthod. 2005; 27:167-72.
7. Benson PE, Parkin N, Millett DT, Dyer FE, Vine S, Shah A. Fluorides for the prevention of white spots on teeth during fixed brace treatment. Cochrane Database Syst Rev. 2004; 3:CD003809.
8. Uysal T, Amasyali M, Ozcan S, Koyuturk AE, Akyol M, Sagdic D. In vivo effects of amorphous calcium phosphate-containing orthodontic composite on enamel demineralization around orthodontic brackets. Aust Dent J. 2010; 55: 285-91.
9. Willmot DR. White lesions after orthodontic treatment: does low fluoride make a difference? J Orthod. 2004;31(3):235-42.
10. Andersson A, Skold-Larsson K, Hallgren A, Petersson LG, Twetman S. Effect of a dental cream containing amorphous calcium phosphate complexes on white spot lesion regression assessed by laser fluorescence. Oral Health Prev Dent. 2007; 5:229-33.
11. Al Maaitah EF, Adeyemi AA, Higham SM, Pender N, Harrison JE. Factors affecting demineralization during orthodontic treatment: a post-hoc analysis of RCT recruits. AJODO. 2011;139(2):181-91.
12. Sagarika N, Suchindran S, Loganathan S, Gopikrishna V. Prevalence of white spot lesion in a section of Indian population undergoing fixed orthodontic treatment: an in vivo assessment using the visual International Caries Detection and Assessment System II criteria. Journal of Conservative Dentistry. 2012; 15(2):104-08.
13. Chang HS, Walsh LJ, Freer TJ. Enamel demineralization during orthodontic treatment, aetiology and prevention. Aust Dent J. 1997; 42(5):322-27.
14. Chesters RK, Pitts NB, Matuliene G, Kvedariene A, Huntington E, Bendinskaite R et al. An abbreviated caries clinical trial design validated over 24 months. J Dent Res. 2002; 81: 637-40.
15. Mahmoud E, Niko B and Ruf S. White-spot lesions during multibracket appliance treatment: a challenge for clinical excellence. Am J Orthod Dentofac Orthop. 2011; 140: e17-24.
16. Sandvik K, Hadler-Olsen S, El-Agroudi M, Ogaard B. Caries and white spot lesions in orthodontically treated adolescents-a prospective study. Eur J Orthod. 2006; 28:e258.
17. Lovrov S, Hertrich K, Hirschfelder U. Enamel demineralization during fixed orthodontic treatment—incidence and correlation to various oral-hygiene parameters. J Orofac Orthop. 2007; 68:353-63.
18. Hawkins R, Locker D, Noble J, Kay EJ. Prevention, part 7: professionally applied topical fluorides for caries prevention. Br Dent J. 2003; 195(6):313-17.
19. Clark, Sarah Elizabeth. Remineralization effectiveness of MI paste plus - a clinical pilot study. MS (Master of Science) thesis, University of Iowa, 2011. http:// ir.uiowa.edu/etd/939.
20. Pukallus ML, Plonka KA, Holcombe TF, Barnett AG, Walsh LJ, Seow WK. A randomized controlled trial of a 10 Percent CPP-ACP cream to reduce mutans Sstreptococci colonization. Pediatric Dentistry. 2013; 35(7):550-55.
21. Bailey DL, Adams GG, Tsao CE, Hyslop A, Escobar K, Manton DJ et al. Regression of post-orthodontic lesions by a remineralizing cream. J Dent Res. 2009; 88(12):1148-153.
22. Mohanty P, Padmanabhan S, Chitharanjan AB. An in vitro evaluation of remineralization potential of novamin on artificial enamel sub-surface lesions around orthodontic brackets using energy dispersive X-ray analysis (Edx). Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2014; 8(11):88-91.
23. Jayarajan J, Janardhanam P, Jayakumar PD. Efficacy of CPP-ACP and CPP-ACPF on enamel remineralization - an in vitro study using scanning electron microscope and DIAGNOdent®. Indian J Dent Res. 2011; 22:77-82.
24. Shetty S, Hegde MN, Bopanna TP. Enamel remineralization assessment after treatment with three different remineralizing agents using surface microhardness: an in vitro study. J Conserv Dent. 2014; 17(1):49–52.
25. Mehta R, Nandlal B, Prashanth S. Comparative evaluation of remineralization potential of casein phosphopeptide amorphous calcium phosphate and casein phosphopeptide amorphous calcium phosphate fluoride on artificial enamel white spot lesion: an in vitro light fluorescence study. Indian Journal of Dental Research. 2013; 24(6): 681- 89.
26. Patil N, Choudhari S, Kulkarni S, Joshi SR. Comparative evaluation of remineralizing potential of three agents on artificially demineralized human enamel: an in vitro study. JCD. 2013;16(2):116-20.
27. Poggio C, Lombardini M, Dagna A, Chiesa M, Bianchi S. Protective effect on enamel demineralization of a CPP–ACP paste: an AFM in vitro study. Journal of Dentistry 2009; 37:949-54.

Wednesday 30 November 2016

CENTRAL ODODNTOGENIC FIBROMA (COF)

CENTRAL ODONTOGENIC FIBROMA

BAB I
PENDAHULUAN

Central Odontogenik Fibroma (COF) adalah tumor jinak mesodermal yang berasal dari jaringan odontogenik. Tumor ini jarang ditemukan dan tumor ini diperkirakan berasal dari folikel gigi, papilla interdental atau ligamen periodontal dimana lokasi terjadinya melibatkan tulang rahang. Tumor ini lebih sering ditemukan pada akar gigi yang sedang erupsi. Tumor ini sering terjadi pada maksila maupun mandibula. 1 Fibroma odontogen umumnya terjadi pada rentang usia 23-37 tahun dan lebih sering terjadi pada wanita. Pada fibroma odontogen jenis ini, 60% terjadi mada maksila dari anterior sampai M1 dan 50% terjadi di mandibula pada gigi P sampai M1. Ada sedikit kasus di mandibula yang berhubungan dengan M3 yang tidak erupsi.1
Pada tahun 2005, WHO mendefinisikan dua jenis histologis yang berbeda dari COF, jenis simplex, dengan hanya beberapa sel epitel, dan jenis kompleks yang memiliki banyak sel epitel. Karena kehadiran epitel merupakan syarat untuk mengkonfirmasi diagnosis COF. Diagnosis klinis dan radiografi COF telah dilaporkan tidak selalu mudah dan tumor harus dibedakan dari banyak lesi lain dari rahang seperti tumor keratocystic odontontogenic, ameloblastoma, myxoma odontogenik, fibroma ameloblastik, mengapur kista odontogenik, kista dentigerous karena bisa muncul sebagai area radio-transparan yang terdefinisi dengan baik terkait dengan mahkota gigi yang terkena dampak.1,2
Umumnya lesi ini tidak menimbulkan keluhan jika ukurannya masih kecil. Nmaun, jika ukuran lesi membesar menyebabkan ekspansi tulan dan gigi goyang akibat adanya resorpsi akar. Umumnya lesi asimtomatik kecuali pembengkakan rahang. Lesi dapat berkembang dari kuman gigi (papilla gigi atau folikel) atau dari membran periodontal, dan karena itu selalu berhubungan dengan bagian koronal atau radikuler gigi. Radiografi tumor kadang-kadang menghasilkan radiolusen yang luas mirip dengan ameloblastoma. Kelangkaan tumor ini tidak termasuk dari kebanyakan daftar diferensial, dan ketika didiagnosis, itu adalah temuan tak terduga yang biasanya membutuhkan pendapat ahli untuk konfirmasi. 2














BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Central Odontogenic Fibroma 2,3
Central Odontogenik Fibroma adalah tumor jinak fibroblast yang terdiri dari jaringan sel-sel kolagen yang terjadi pada tulang rahang. Terdapat tiga buah konsep dasar mengenai keberadaan tumor ini, yaitu :
- Tumor ini adalah sebuah lesi disekeliling mahkota gigi yang erupsi menyerupai kista dentigerous yang kecil. Oleh karena itu kebanyakan peneliti menganggap tumor ini hanyalah sebagai sebuah hyperplasia dari folikel gigi dan bukan sebagai tumor odontogenik
- Tumor ini adalah sebuah lesi dari jaringan lunak fibrous dengan kumpulan epitel odontogenik yang tersebar, di duga beberapa menyerupai folikel gigi tetapi dikarenakan ukurannya membuat ia dapat diterima sebagai sebuah tumor. Tumor ini dikenal sebagai Simple Central Odontogenic Fibroma
- Tumor ini adalah lesi yang telah digambarkan oleh WHO sebagai neoplasma fibroblast yang terdiri dari berbagai jenis epitel odontogenik dan dalam beberapa kasus, terjadi kalsifikasi material menyerupai dislasia dentin atau sementum. Tumor ini disebut dengan Central Odontogenik Fibroma.

Gambar 1. Tampakan Ekstra Oral penderita odontogenik fibroma.
Sumber : Chhabra V, Chabbra A. Central odontogenic fibroma of the mandible. Contemp Clin Dent 2012:3(2);232.



Gambar 2. Tampakan Intra Oral penderita odontogenik fibroma.
Sumber : Chhabra V, Chabbra A. Central odontogenic fibroma of the mandible. Contemp Clin Dent 2012:3(2);232.


B. Epidemiologi Central Odontogenic Fibroma 4
Insiden Odontogenik Fibroma (OTS) di Afrika dilaporkan 19-32% dan Kaukasia 1%. Frekuensi odontoma relatif menunjukkan tingginya insiden ameloblastoma. Frekuensi ameloblastoma adalah antara 11-24% di Kaukasia sementara di kalangan orang Afrika 66-99%.
Fibroma ameloblastik merupakan 2,3% dari semua OTS. Insiden OTS ganas secara signifikan tinggi di Afrika dan Cina yang melaporkan kasus tumor ganas (1,1%). Insiden OTS dalam populasi Libya ini mirip dengan penelitian dari Turki dan Brazil, bukan menyelaraskan baik untuk populasi Sub-Sahara atau Kaukasia. Karena pola yang berubah kejadian di pilih populasi, studi lebih lanjut didorong untuk memastikan kesamaan dalam pola genetik dari lokasi geografis yang berbeda dan populasi ras.

C. Histopatologi Central Odontogenic Fibroma 5,6
Terjadi pada dekade keempat; radiolusen unilocular biasanya terdapat pada mandibula perifer (extraosseous).
• Poliferation sel spindle fibroblast-seperti di stroma collagenized padat atau delicated; beberapa tumor memiliki stroma myxoid; epitel odontogenik mungkin jarang dan sering mengandung sel-sel yang jelas; tetesan hyalin (basement bahan membran) atau saluran; eosinofilik (dentinoid); epitel positif untuk AE1 / AE2, CK14, CK19, dan cytokeratins lainnya.
• Area kadang-kadang mirip sel raksasa sentral dengan granuloma
• Fibromyxoma odontogenik, dengan epitel sedikit dan myxoid, tidak menghasilkan dentinoid
• Fibroma desmoplastic lebih padat collagenized dan tidak mengandung epitel atau dentinoid; sering beta-catein positif dan berperilaku secara lokal aggresive
• Carsinoma metastasis pameran atypia sitologi dan desmoplasia sekitar epitel

Gambar 3. Mikroskopik menunjukkan lesi dibentuk oleh jaringan ikat fibrosa (1000 ×, hematoxilin-eosin). Sumber : Brazaosilva MT, Fernandes AV, Durigetho AF, Cardoso SV, Loyola AM. Central odontogenic fibroma: a case report with long-term follow up. Head and Face Medicine [internet]. 2010. p.3. Available from : http://www.head-face-med.com/content/6/1/20. Accessed 15 April 2016


Secara Histopatologi, lesi ini dibagi menjadi fibroma odontogen sederhana dan kompleks
1. Fibroma odentogen sederhana
Lesi ini berasal dari dental folikel. Secara HPA akan menunjukkan adanya fibrolas-fibroblas stellate yang bergelung, fibril-fibril kolagen yang jelas sebagai bahan dasar dan adanya sisa epitel odontogen.Pada lesi ini kadang ditemukan kalsifikasi distropik.
2. Fibroma odontogen kompleks
Lesi ini berasal dari ligament periodontal. Secara HPA, menunjukkan adanya jaringan ikat fibrous selluler yang jelas, serabut-serabut kolagen dalam jalinan bundle serta epitel odontogen berbentuk untaian panjang.

D. Gambaran Klinis Central Odontogenic Fibroma 5,6
Secara klinis Central Odontogenic Fibroma lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda dan lebih banyak terjadi pada mandibula. Tumor ini pada awalnya asimptomatis kecuali terjadi pembengkakan pada tulang rahang.
COF terjadi pada tulang dan menetap serta tumbuh secara lambat dan bertahap. Lokasi terjadinya dapat dihubungkan dengan adanya gigi yang tidak erupsi atau gigi yang letaknya tidak teratur dan mengalami impaksi. Tumor ini lebih sering menyebabkan ekspansi dari tulang kortikol.
Lesi ini juga dapat menyebabkan perpindahan secara menyeluruh dari gigi geligi dan akar gigi yang diakibatkan oleh pembesaran tumor tersebut. Adanya karies pada gigi yang dapat menyebabkan kerusakan tulang yang dapat dihubungkan dengan tumor ini, dimana pada awalnya proses tersebut memberikan kesan bahwa lesi tersebut diakibatkan oleh jaringan pulpa.
COF yang terjadi pada bagian posterior dari maksila dapat meluas ke dalam sinus maksilaris, mencapai fossa pterigomaksilaris dimana daerah ini dekat dengan struktur-struktur vital sehingga harus dilakukan perawatan yang lebih dini dan akurat.
Pada COF terdiri dari serat-serat kolagen yang relative dewasa tetapi lebih banyak terlihat sel-sel jaringan ikat dengan tidak terlalu banyak pulau-pulau yang terbentuk daari epitel odontogenik. Pada tumor ini juga dapat ditemukan osteoid, dentin dysplasia atau sementum.

Gambar 4. A - Intra-oral menunjukkan gingiva bengkak pada ridge alveolar antara gigi caninus dan gigi premolar. B - radiografi periapikal menunjukkan lesi radiolusen osteolitic dengan septa tulang internal dan poin dari kalsifikasi pada permukaan bukal. Selain itu, menunjukkan garis radiopak tipis sekitar aspek superior dari lesi dan resorpsi lamina dura tanpa resorpsi radikular. Sumber : Brazaosilva MT, Fernandes AV, Durigetho AF, Cardoso SV, Loyola AM. Central odontogenic fibroma: a case report with long-term follow up. Head and Face Medicine [internet]. 2010. p.1. Available from : http://www.head-face-med.com/content/6/1/20. Accessed 15 April 2016


E. Gambaran Radiografi 5,7
Pada gambaran radiografi COF banyak memperlihatkan adanya ruangan atau rongga radiolusen yang banyak, dimana juga dapat melibatkan porsi yang relative lebh banyak pada tulang rahang. Lesi ini juga dapat terlihat sebagai gambaran area radiolusen dimana dapat ditemukan adanya gigi yang terpendam. Secara radiografi, lesi berukuran kecil, berbatas jelas, unilokuler, radiolusen di apical gigi yang erupsi. Jika lesi besar maka Nampak radiolusen multilokuler. Ada beberapa lesi yang memiliki tepi sklerotik. Namun paada kasus ini, juga dapat timbul lesi radiopak yang samar-samar jika terjadi kalsifikasi pada lesi tersebut. Secara radiografis juga ditemukan adanya resorpsi akar dan akar yang divergen jika lesi tersebut berada di antara gigi

F. Pathologi Central Odontogenic Fibroma 6-8
Berbagai pola histopatologi telah dijelaskan, dengan tipe sederhana fibroma odontogenik sentral, ditunjukkan merata, fibroblas yang besar dengan latar belakang dari serat kolagen halus dan jumlah variabel substance dari epitel odontogenik dapat hadir dengan jumlah minimal atau mungkin tidak ada sama sekali. Jenis WHO, sebaliknya, menunjukkan jaringan ikat fibrosa seluler dengan beberapa banyak pulau epitel odontogenik. Area perubahan myxoid dan hialinisasi dapat dilihat. epitel tidak memiliki palisading, cadangan polarisasi dan stellata daerah retikulum. bahan kalsifikasi, kadang-kadang didiagnosa sebagai dentin displastik, mungkin ada. komponen granular sel dapat menyerupai seperti lesi ini.
G. Menegakkan diagnosis COF 3
Wesley et al. pada tahun 1975 menyarankan seperangkat kriteria untuk mendiagnosis COF:
1) Secara klinis, lesi sentral dalam rahang dan memiliki lambat, pertumbuhan terus-menerus yang menghasilkan ekspansi kortikal menyakitkan.
2) radiologi, penampilan lesi bervariasi, tapi seperti ameloblastoma dan myxoma odontogenik, kebanyakan lesi radiolusen multilocular yang melibatkan bagian-bagian yang relatif besar dari rahang pada tahap selanjutnya. Dalam beberapa kasus, mereka dapat berhubungan dengan gigi yang tidak erupsi dan / atau impaksi.
3) histopatologis, fitur yang paling konsisten adalah tumor yang terdiri terutama dari serat kolagen yang matang dengan berbagai fibroblas diselingi. Kehadiran sarang kecil dan / atau helai epitel odontogenik aktif adalah fitur variabel.
4) Lesi jinak dan respons yang baik dengan enukleasi bedah, tanpa kecenderungan untuk mengalami transformasi maligna.
Gardner berusaha klarifikasi lebih lanjut dari lesi yang sebelumnya digambarkan sebagai fibroma odontogenik dan diklasifikasikan menjadi tiga lesi yang berbeda, namun mungkin terkait,:
1) Hiperplastik folikel gigi.
2) Sebuah neoplasma berserat dengan berbagai kolagen fibrosa jaringan ikat yang mengandung sarang epitel odontogenik (tipe sederhana).
3) Sebuah lesi yang lebih rumit dengan fitur dentin displastik atau jaringan sementum dan jumlah yang bervariasi dari epitel odontogenik (WHO type). Sebagai kelompok ini mirip dengan mengapur tumor odontogenik dijelaskan oleh Pindborg dalam publikasi WHO pada tahun 1971.
Gardner ditunjuk sebagai fibroma odontogenik (WHO). Kedua lesi dapat dibedakan oleh kenyataan bahwa, yang mengapur odontogenik noda tumor positif dengan noda amyloid, tapi odontogenik fibroma (tipe WHO).
Menurut Marx dan Stern, yang paling COFs memerlukan biopsi insisi, karena presentasi mereka menunjukkan penyakit yang lebih agresif. Setelah diagnosis ditegakkan, radiografi panoramik cukup untuk perencanaan pengobatan.
Mohanty et al. melaporkan kejadian langka dari unilocular intrabony patologi pada gigi anterior rahang bawah, mirip dengan kasus kami. Dari 17 kasus yang ditemukan di review 10 tahun dari catatan, sembilan patologi yang berbeda terlihat, meskipun tanda-tanda dan gejala klinis dan radiografi mirip: ameloblastoma, tumor odontogenik adenomatoid, keratocyst odontogenik, dua perkerasan fibroma, rongga tulang idiopatik, kista dentigerous, radikuler kista, granuloma giant cell pusat, dan mengapur kista odontogenik. Pemeriksaan histologis hati karena akan muncul menjadi penting untuk diagnosis yang benar.
Sheikhi et al. mengamati lesi pada rahang pasien 37 tahun ini, dan berbagai klinis dan radiografi (intraoral, panorama, cone beam computed tomography) tidak memberikan diagnosis. Diagnosis termasuk chondrosarcoma atau osteosarkoma, displasia fibrosa, kista odontogenik, karsinoma sel skuamosa, mengapur kista odontogenik (Gorlin kista), dan mengapur tumor odontogenik epitel (tumor Pindborg). perbatasan yang didefinisikan dengan baik apa yang mereka disebut sebagai "pusat cementifying fibroma" membantu membedakannya dari sarkoma agresif dan karsinoma.
Scholl et al. kista Ulasan dan lesi kistik mandibula. Mereka mencatat bahwa banyak lesi nonodontogenic dapat meniru lesi odontogenik, termasuk lesi jinak fibro-osseus (fibroma konvensional atau remaja perkerasan, fokal atau periapikal cemento-osseus displasia, kemerahan displasia tulang), trauma kista tulang, lingual kelenjar ludah inklusi cacat, sel raksasa pusat granuloma, tumor coklat hiperparatiroidisme, malformasi arteri, dan karsinoma mucoepidermoid. Seperti Mohanty et al., Scholl et al. menyimpulkan bahwa "evaluasi jaringan mikroskopis umumnya diperlukan untuk secara akurat mengidentifikasi lesi".
H. Deferensial Diagnosis Central Odontogenic Fibroma 7.9.10
Odontogenik fibroma harus dibedakan dari jaringan ikat dan dari neoplasma lain yang berasal dari jaringan odontognik.
Ameoblastik fibroma, Ameoblastik Fibro-Odontoma, Dentinoma dan Odontogenik Miksomasemuanya terdiri dari jaringan ikat fibrous muda yang menyerupai Odontogenik Fibroma yang dijumpai pada papilla dari gigi yang sedang tumbuh, dan hal ini dapat meniadakan perbedaan antara lesi tersebut dengan Odontogenik Fibroma. Pada Ameoblastik Fibroma ditemukan adanya sel-sel tanpa zona yang berhialin disekitar jalinan epitel dan folikel, namun pada Odontogenik Fibroma tidak terjadi demikian.
Pada Odontogenik Fibroma, jaringan ikatnya lebih berkolagen dan fibroblasnya lebih rapat dan padat. Sedangkan pada Ameoblastik Fibroma fibroblasnya lebih rapat dan padat. Sedangkan pada Ameonlastik Fibroma fibroblasnya cenderung menjadi terpisah luas oleh stroma interseluler dan zat dasar lainnya. Komponen klasifikasi pada Dentinoma dasarnya lebih mencolok daripada Odontogenik Fibroma.
Odontgenik Fibroma dan Odontogenik Miksoma menunjukkan beberapa kesamaan morfologi yang mendukung konsep dari histogenesis yang sama. Kedua lesi ini benar-benar terpisah, namun, yang paling mencolok cirri-ciri khusus antara keduanya dimana melimpahkan kolagen dan keadaan sel-sel yang lebih besar terdapat pada odontogenik fibroma.
Semua lesi berserat rahang harus dipertimbangkan untuk membuat diagnosis yang aman, mencoba untuk kedua aspek klinis dan histopatologis, seperti yang dirangkum dalam tabel 1 . Berbagai penting untuk menyertakan fibroma desmoplastic (DF) hipotesis sebagai diagnostik terhadap lesi berserat dari tulang rahang. DF adalah lokal agresif dan invasif, sering diperlakukan dengan reseksi tungkai menusuk. Secara histologi, DF biasanya jauh lebih sedikit selular, dengan sel spindle berbentuk lebih dan dengan stroma intens kolagen. Selain itu, temuan seperti usia muda, margin yang tidak jelas, perforasi kortikal, fraktur patologis dan pertumbuhan yang cepat akan berguna untuk mendiagnosa DF bukan COF.

fitur fibroma odontogenik Central fibroma desmoplastic myxoma odontogenik fibroma ameloblastik tumor odontogenik adenomatoid
Asal ectomesenchyme odontogenik Fibroblastik / myofibroblastik ectomesenchyme odontogenik epitel odontogenik dan ectomesenchyme odontogenik epitel odontogenik
Patologi bundel Jalinan kolagen embedding sejumlah variabel fibroblas yang tersebar. Banyak sarang dan helai aktif tampak OE ** dan kalsifikasi dapat ditemukan Bundel interlaced dan agregat whorled jaringan padat kolagen yang mengandung spindled seragam dan memanjang fibroblas / myofibroblasts Stellata dan sel berbentuk gelendong dalam stroma myxoid atau berlendir kaya dengan beberapa fibril kolagen. Beberapa pulau OE dapat hadir Bercabang dan anastomosing proliferatif OE dengan pelek perifer sel kolumnar dalam stroma jaringan ikat primitif tanpa formasi keras gigi Bervariasi berukuran nodul solid cuboidal OE mencolok dengan struktur saluran-seperti. Bahan amorf eosinophilic disebut "tetesan tumor" dapat ditemukan
presentasi# 1,5% dari tumor odontogenik
Umur: 34.9 + 19.6
M: F * = 1: 2,8
Rahang atas dan rahang bawah dalam proporsi yang sama, yang paling terpengaruh posterior (73,5%) dan anterior (73,5%) daerah, masing-masing Kurang dari 1% dari tumor tulang
Umur: 15,1 + 12
M: F = 1: 1.2
15% mungkin painfull
Invasif lokal dan agresif
Hampir mandibula (84%), dan di bagian posterior kedua rahang 3-20% dari tumor odontogenik
Umur: 31.3
M: F = 1: 2.3
25% mungkin menyakitkan
Invasif lokal dan agresif
Mandibula (63%) di daerah posterior dan rahang di daerah premolar 1,6% dari tumor odontogenik
Umur: 9.6
M: F = 1,26: 1
pertumbuhan luas
Mandibula (80,5%) posterior (73,5%) 1,7-7% dari tumor odontogenik 9, OMS
Umur: 13.2
M: F = 1: 2,6
tidak adanya gigi yang diamati
Rahang (dua kali mandibula) di daerah anterior (92,3%)
Radiologi radiolusen yang jelas, unilocular lebih kecil (rata-rata 2.2cm) dan multilocular di lebih besar (rata-rata 4.2cm). Kalsifikasi pinpoint mungkin hadir di 12% . Didefinisikan dengan baik, hampir multilocular radiolusen (76%), lebih mungkin untuk melibatkan ekspansi tulang dan kerusakan batas Multilocular (60-80%) sebagai "sarang lebah", "gelembung sabun" atau "raket tenis" aspek dengan batas yang jelas.Lesi lebih rendah dari 4,0 cm mungkin unilocular Didefinisikan dengan baik, uni / multilocular radiolusen, dalam banyak kasus menunjukkan batas radiopak radiolusen unilocular terkait dengan mahkota dan sering menjadi bagian dari
akar gigi yang tidak erupsi, dengan perpindahan gigi tetangga
Terapi / prognosis Kuretase / sangat baik Bedah reseksi / kecenderungan kekambuhan Bedah reseksi / kecenderungan kekambuhan Bedah reseksi / kecenderungan kekambuhan;transformasi ganas di 11,4% . Kuretase / sangat baik


i. Perawatan 5,6,10
Perawatan pada tumor odontogenik fibroma adalah dengan perawatan secara kuratif yaitu pembedahan.
Pembedahan bertujuan untuk mengambil lesi secara keseluruhan. Hal ini dilakukan untuk lesi yang ukurannya dan lokasinya berada disekitar bagian tepi dari jaringan normal dengan kedalaman lesi yang tidak lebih dari setengah sentimeter dari tepian lesi sudah termasuk keseluruhan lesi. Setelah pemotongan mukosa atau jaringan dilakukan, perluasan sel-sel ganas dapat dengan segera dicegah setelah pengambilan lesi. Dalamnya lesi juga menjadi faktor penting dalam proses pembedahan.
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, tindakan perawatan bedah harus dilakukan secara sistemis. Pembedahan dilakukan menurut prosedur yang baik dan teratur. Pada tumor odontogenik fibroma yang dilakukan prosedur tindakan bedah yang meliputi jaringan lunak saja dan yang meliputi jaringan lunak dan tulang terdiri dari :
1. Insisi dan pembuatan muko-periost flap
2. Pengambilan tulang yang menutupi lesi
3. Pengambilan lesi odontogenik fibroma
4. Pembersihan luka atau tulang
5. Penutupan flap dengan penjahitan
6. Perawatan pasca bedah
Sedangkan untuk lesi yang meliputi jaringan lunak saja, setelah dilakukan insisi atau eksisi untuk pengambilan lesi dilakukan pembersihan luka lalu dilakukan perawatan pada luka dengan menjahit luka dan dilakukan perawatan pasca bedah.
Instrumen yang digunakan untuk pembedahan terdiri dari :
1. Tampon dan kapas steril
2. Anastesi local
3. Scalpel dengan mata bedah yang tajam
4. Kassa tipis
5. Benang bedah yang tepat (3.0-4.0)
6. Tissue forceps
7. Jarum untuk menjahit
8. Obat kumur desinfektan
Namun sebelum dilakukan perawatan dengan pembedahan perlu dilakukan persiapan pada pasien yang dimulai dengan pemeriksaan fisik pasien dengan melakukan anamnesa. Pemeriksaan ini sangat penting untuk mengetahui kondisi kesehatan dan riwayat kesehatan pada pasien dimana dapat diketahui lebih dahulu keadaan patologi atau permasalahan yang dapat terjadi untuk persiapan dilakukannya prosedur pembedahan. Perawatan bedah yang baik dimulai dengan pemeriksaan diagnosa yang akurat dan hal ini dapat diketahui dari proses evaluasi, persiapan sebelum pembedahan, manajemen pembedahan yang akurat, teknik sepsis dan sterilisasi, keahlian dalam melakukan pembedahan, dan perawatan setelah proses pembedahan.
Prognosis dari perawatan pada odontogenik fibroma adalah baik setelah dilakukan perawatan, dimana jarang sekali terjadi rekuren. Prognosis dari perawatan lesi ini dapat dilihat dari beberapa segi yaitu :
1. Tingkat perjalanan lesi
2. Gambaran secara mikroskopik
3. Keadaan anatomi jaringan
4. Kondisi pasien secara umum
Pengobatan COF ini melibatkan operasi konservatif melalui enukleasi lesi dan penggunaan kuret untuk menyembuhkan rongga yang tersisa. Lesi ini mudah terpisah dari crypt tulang mereka dan tidak menunjukkan bukti infiltrasi tulang. Rongga tulang yang dihasilkan ditutup pada level mukosa tanpa perlu saluran air atau kemasan.
Terlepas dari kemudahan sering penghapusan COF, karena tidak mematuhi struktur tulang atau gigi, kambuh jarang telah dikaitkan dengan cukup kuretase. Karena jinak, pertumbuhan lambat, identifikasi klinis penyakit berulang atau sisa mungkin tidak diidentifikasi sampai beberapa tahun kemudian. Dunlap dan Barker disajikan dua kasus COF maxillary diobati dengan kuretase dengan tindak lanjut dari 9 tahun dan 10 tahun, masing-masing, dengan tidak ada bukti kekambuhan. Namun, beberapa kasus berulang telah dilaporkan. Heimdal et al. pada tahun 1980 melaporkan kambuh 9 tahun setelah operasi pengangkatan. Pada tahun 1986 Svirsky et al. melaporkan 13% (2 dari 15 kasus) tingkat kekambuhan. Jones et al. melaporkan kasus yang kambuh 16 bulan setelah operasi. Menurut Marx dan Stern . jika kambuh diamati, spesimen patologis asli, serta spesimen biopsi, harus ditinjau. Meskipun tingkat kekambuhan rendah, monitoring pasca operasi harus dilakukan untuk minimal 5 tahun setelah operasi pengangkatan.
Menurut Marx, yang paling COFs memerlukan biopsi insisi karena presentasi mereka menunjukkan penyakit yang lebih agresif, dan sekali diagnosis ditegakkan, radiografi panoramik cukup untuk perencanaan pengobatan. Cara pengobatan untuk COF adalah enukleasi dan kuretase. Mereka mudah terpisah dari crypt tulang mereka dan tidak menunjukkan bukti infiltrasi tulang. Rongga tulang yang dihasilkan ditutup pada level mukosa tanpa perlu saluran air atau kemasan. Kekambuhan jarang terjadi. Dunlap dan Barker disajikan dua kasus fibroma odontogenik rahang atas diobati dengan kuretase dengan tindak lanjut dari 9 tahun dan 10 tahun dengan tidak ada bukti kekambuhan. Namun, beberapa kasus berulang telah dilaporkan.Heimdal et al. melaporkan kasus yang kambuh 9 tahun setelah operasi. Sejak itu, Svirsky et al. telah melaporkan 13% (2 dari 15 kasus) tingkat kekambuhan. Jones et al. melaporkan kasus yang kambuh 16 bulan setelah operasi. Menurut Marx, jika kekambuhan diamati, spesimen patologis asli serta spesimen biopsi harus ditinjau. Ada kemungkinan bahwa suatu myxoma odontogenik dengan fitur berserat sering disebut sebagai fibromyxoma ditafsirkan sebagai COF a. Hal ini juga mungkin bahwa fibroma perkerasan dengan beberapa tulang atau komponen sementum seperti ditafsirkan sebagai jenis COF yang memiliki biasa matang jaringan ikat fibrosa dan deposito kalsifikasi sendiri yang diyakini baik sementum atau dentin











BAB III
KESIMPULAN
Central Odontogenik Fibroma adalah tumor jinak rongga mulut yang berasal dari jaringan odontogenik. Secara klinis tumor ini hampir mirip dengan lesi-lesi jaringan ikat fibrous yang lainnya, namun tumor ini memiliki ciri khas sendiri terutama jika dilihat dari gambaran histopatologisnya. COF sering terjadi pada usia muda.
Sangat penting bahwa ahli bedah mulut dan rahang atas, ahli radiologi dan patologi mengintegrasikan semua informasi yang relevan dan tersedia untuk datang dengan diagnosis yang benar dan manajemen penyakit yang tepat. Operasi konservatif dapat dilakukan untuk mengobati COF, yang terdiri dalam kuretase menyeluruh dari lesi. Meskipun tingkat kekambuhan rendah, sebuah pasca operasi tindak lanjut yang diperlukan








DAFTAR PUSTAKA

1. Pippi R, Santoro M, Patini R. The Central odontogenic fibroma: how difficult can be making a preliminary diagnosis. J Clin Exp Dent 2016;8(2):223-5.

2. Veerayarmal V, Madhayan RN, Nassar MM, Amsaveni R. Central odontogenik fibroma of the maxilla. J oral Maxillofac Pathol 2013;17(2);319-25.

3. Chhabra V, Chabbra A. Central odontogenic fibroma of the mandible. Contemp Clin Dent 2012:3(2);230-3.

4. Goteti SH. Odontogenic tumor: a review of 675 cases in eastern Libya. Niger J Serg 2016;22(1):37-40.

5. Regezi JA, Sciubba J, Jordan RC. Oral pathology: clinical pathologic correlations 6th ed. Elsevier: St.louis; 2012. p.283-4.

6. Woo SB. Oral pathology: a comprehensive atlas and text. Elsevier; 2012. p.373.

7. Brazaosilva MT, Fernandes AV, Durigetho AF, Cardoso SV, Loyola AM. Central odontogenic fibroma: a case report with long-term follow up. Head and Face Medicine [internet]. 2010. p.1-5. Available from : http://www.head-face-med.com/content/6/1/20.
Accessed 15 April 2016

8. Thankappan P, Chundru NS, Amudala R, Yanadi P, Botu M. Central odontogenic fibroma of simple type. Hindawi Pubslishing corperation [internet]. 2014. p.1-3. Available from: http://dx.doi.org/10.1155/2014/642905. Accesed 15 April 2016.

9. Gaikwad P, et.al. Central odontogenic fibroma: a case report and review of literature. International Journal of oral maxillofacial pathology 2013:4(4);29-32.

10. Gnepp DR. Diagnostic surgical pathology of the head and neck 2nd ed. Elsevier: Philadelphia. 2009. p.827-8.

KTI PROSTO - Rehabilitasi Estetika Keseluruhan Mulut: Pendekatan Interdisiplin Perio-Prosto

Rehabilitasi Estetika Keseluruhan Mulut: Pendekatan Interdisiplin Perio-Prosto
(Full-mouth aesthetic rehabilitation: A perio-prostho interdisciplinary approach)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Estetika dan fungsional hasil pengobatan yang sukses adalah berdasarkan pengamatan kesehatan prostetik dan periodontal dari masing-masing abutment. Keberhasilan gigi tiruan sebagian cekat tergantung seberapa efisien lebar biologisnya. Lebar biologis adalah jarak antara ujung apikal sulkus gingiva ke puncak tulang alveolar. 1
Gigi dengan mahkota klinis pendek memerlukan intervensi periodontal, yaitu dengan prosedur pemanjangan mahkota atau crown lengthening.1 Banyak faktor dapat bergabung untuk menghasilkan gigi dengan mahkota klinis pendek, salah satunya karena keausan gigi, yang telah diklasifikasikan ke dalam empat jenis yaitu: (1) atrisi, yang merupakan keausan gigi disebabkan oleh kontak gigi ke gigi selama pengunyahan; (2) abrasi, yang merupakan hilangnya permukaan gigi yang disebabkan oleh abrasi dengan zat asing selain kontak ke gigi; (3) erosi, yang merupakan hilangnya permukaan gigi dengan proses kimia yang tidak melibatkan aksi bakteri; (4) abfraksi disebabkan oleh tekanan oklusal.2
Penilaian yang benar dari dimensi vertikal oklusi, ruang istirahat interoklusal, dan hubungan sentris sangat penting untuk pengobatan yang berhasil.3 Aspek penting untuk pengobatan yang berhasil adalah untuk menentukan dimensi vertikal oklusi
(DVO) dan interoklusal rest space (IRS).2 Sebuah pendekatan sistematis untuk mengelola pemakaian gigi dapat menyebabkan prognosis menguntungkan. Dengan pembedahan akan memberikan struktur gigi sehat dari koronal ke puncak alveolar, sehingga memungkinkan akomodasi dari attachment gingiva baru dan mahkota tanpa melanggar lebar biologis periodonsium. 1
Ketika kehilangan permukaan gigi akibat atrisi, dapat dikaitkan dengan penurunan dimensi vertikal oklusi yang akan menghasilkan penampilan estetika yang kurang baik, kehilangan tonus otot dan penurunan efisiensi pengunyahan. Selain itu, kehilangan jaringan gigi dari keausan gigi telah ditunjukkan untuk dihubungkan dengan berbagai masalah gigi seperti gigi sensitif, pengurangan berlebihan mahkota klinis dan kemungkinan perubahan hubungan oklusal.4
Tujuan penulisan ini untuk menyajikan sebuah kasus rehabilitasi estetika menggunakan teknik bedah pemanjangan mahkota sebagai tahap preprostetik pemasangan gigi tiruan pada pasien dengan kelainan gigi atrisi.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 CROWN LENGTHENING
Crown lengthening atau pemanjangan mahkota dilakukan untuk meningkatkan penampilan dari gigi anterior ketika klinis mahkota ini terlalu pendek untuk memberikan retensi prostetik.5 Pemanjangan mahkota adalah prosedur pembedahan yang ditujukan untuk pengangkatan jaringan periodontal untuk meningkatkan penampilan klinis mahkota. Prosedur ini dapat dicapai dengan reseksi tulang atau tanpa reseksi tulang.6
Indikasi :6
1. Gigi dengan mahkota klinis pendek
2. Kontur gingiva yang rata
3. Gummy smile
Kontraindikasi :6
1. Rasio mahkota akar yang mencukupi
2. Pada pasien dengan kebersihan mulut yang buruk.


Pemanjangan mahkota dibagi menjadi dua jenis;
1. Estetika pemanjangan mahkota.
Estetika pemanjangan mahkota biasanya dilakukan di zona estetika dari rongga mulut, seperti anterior rahang atas. Perhatian utama adalah untuk mengurangi tampilan gingiva dan meningkatkan ketinggian klinis mahkota.
2. Pemanjangan mahkota fungsional.
Pemanjangan mahkota fungsional dilakukan untuk mengekspos struktur mahkota sehingga terdapat retensi untuk restorasi nantinya.
Lebar perlekatan retensi restorasi ini sekitar 2 mm dari setiap restorasi di atasnya, dimana dapat menyebabkan kehilangan tulang karena usaha dari host untuk menjaga jarak 2 mm.5
Pada beberapa kasus, ternyata pasien dengan karies subgingival yang luas, perforasi akar akibat perawatan endodontik dapat berhasil dipulihkan setelah dilakukan pemanjangan mahkota. Pemanjangan mahkota dapat dicapai baik pembedahan atau dengan gabungan teknik ortodonsi-periodonsi, tergantung pada pasien dan kondisi giginya.5
Hal ini dilakukan untuk mencapai peningkatan pemanjangan mahkota yang efektif dengan gingivektomi atau penghapusan gingiva oleh electrosurgery saja. Untuk prosedur ini, ketebalan lipatan mucoperiosteal direfleksikan, dan reseksi tulang menciptakan 3,5-4,0 mm ruang antara puncak gingiva dan margin restorasi yang ada. Dalam hal ini, bagaimanapun faktor-faktor berikut harus dipertimbangkan:5
1. Estetika. Ketika bedah memperpanjang mahkota diindikasikan, mungkin sulit untuk mencapai transisi yang harmonis dari jaringan di sekitar gigi yang berdekatan. Jika operasi dilakukan, sebagian besar pengurangan tulang harus pada sisi lingual atau palatal yang biasanya tidak ada masalah dalam estetik.
2. Panjang akar dalam tulang. Jika ada dukungan tulang terbatas, mungkin lebih baik untuk mencabut gigi dan menggantinya dengan gigi tiruan daripada pasien menjalani operasi pada gigi dengan prognosis meragukan.
3. Efek pada gigi yang berdekatan. Adanya fraktur atau cacat sehingga tidak dapat dihilangkan tanpa membahayakan gigi yang berdekatan.
4. Akar furkasi di gigi posterior. Jika situasi ini tidak dapat diatasi dengan osteoplasty dan atau odontoplasty, gigi mungkin memerlukan pencabutan.
5. Mobilitas. Mobilitas pascaoperasi gigi dengan akar kecil atau kerucut sangat perlu perhatian yang lebih. Jika gigi tersebut tidak dapat mendukung dirinya sendiri atau tidak dapat didukung oleh gigi yang berdekatan, maka pencabutan mungkin diperlukan.
6. Tingkat defect. Keparahan dan komplikasi fraktur, karies akar, atau aus servikal harus hati-hati dievaluasi selama fase perencanaan pengobatan.
7. Akar perforasi. Ini jarang terjadi, tetapi jika itu terjadi selama terapi endodontik, lokasinya akan menentukan apakah gigi dicabut, ortodonsi atau pembedahan memperpanjang gigi.
Dalam memutuskan tindakan perpanjangan mahkota ada faktor yang harus ditinjau sebelum melakukan tindakan tersebut, yaitu :6
1. Kedalaman sulkus: Pengukuran kedalaman sulkus dilakukan untuk menentukan jenis pocket, apakah pseudo-pocket atau true pocket. Pengobatan bedah akan berbeda sesuai dengan jenis pocket dan kedalaman sulkus.
2. Lebar biologis: Konsep lebar biologik secara luas digunakan sebagai pedoman klinis selama evaluasi keterkaitan restoratif periodontal. Konsep ini mengandaikan adanya proporsi vertikal konstan jaringan lunak supra-alveolar sehat dengan dimensi rata-rata sekitar 2 mm, diukur dari dasar sulkus gingiva ke puncak alveolar.
3. Bone Sounding: Titik puncak tulang alveolar harus ditentukan sebelum pertimbangan mengenai estetika pemanjangan mahkota. Derajat klinis mahkota, elongasi, posisi tulang alveolar akan menentukan kelayakan aspek bedah, dan urutan pengobatan.
4. Rasio mahkota- akar : Rasio mahkota-akar yang diterima adalah sekitar 1: 1.

Meskipun bedah pemanjangan mahkota mungkin tidak menjadi pilihan untuk fraktur, perforasi, atau gigi atrisi parah, namun dapat membantu memecahkan masalah restorasi yang sulit bila digunakan dengan penilaian klinis yang tepat.

1.2 LEBAR BIOLOGIS
Lebar biologis adalah jarak antara ujung apikal sulkus gingiva ke puncak tulang alveolar. Rata-rata berjarak 2,04 mm dengan sekitar 0,97 ditempati epitel junction dan 1,07 di perlekatan jaringan ikat ke akar. Konsep lebar bologis secara luas digunakan sebagai pedoman klinis selama evaluasi hubungan periodontal dengan restorasi.7

Gambar 2.1. Skematik dari struktur periodonsium dan ruang lebar biologis

Sumber : Lee AE. Aesthetic crown lengthening: classification, biologic rationale, and treatment planning considerations. Pract Proced Aesthet Dent 2004;16(10):770


Kebutuhan untuk membentuk margin restorasi subgingiva dapat ditentukan oleh adanya karies, fraktur gigi, restorasi akar eksternal, atau kebutuhan untuk meningkatkan tinggi aksial dari persiapan gigi untuk tujuan retensi restorasi. Jika margin apical untuk persiapan restorasi ditempatkan dalam lebar biologis akan menyebabkannya terlalu dekat dengan tulang.7
Dimensi lebar biologik tampaknya merupakan fitur konstan dalam periodonsium manusia. Oleh karena itu telah diusulkan bahwa itu dianggap sebagai parameter yang menunjukkan bahwa lebar biologis akan menghasilkan upaya oleh jaringan gingiva untuk membangun dimensi asli melalui resorpsi tulang. Selain itu, ada bukti eksperimental menunjukkan bahwa lebar biologis akan membangun dirinya kembali selama penyembuhan jaringan periodontal setelah prosedur bedah.7
1.3 GIGI TIRUAN CEKAT
Gigi tiruan cekat atau fixed partial denture merupakan piranti prostetik permanen yang melekat pada gigi yang masih tersisa, yang menggantikan satu atau lebih kehilangan gigi. Gigi tiruan cekat dikenal ada dua yaitu gigi tiruan jembatan dan mahkota tiruan.
1.3.1 Gigi Tiruan Jembatan (GTJ)
Ada 5 macam desain dari gigi tiruan jembatan yang perbedaannya terletak pada dukungan yang ada pada masing-masing ujung pontik. Kelima desain ini adalah: 8
a. Fixed-fixed bridge
Suatu gigitiruan yang pontiknya didukung secara kaku pada kedua sisi oleh satu atau lebih gigi penyangga. Pada bagian gigi yang hilang yang terhubung dengan gigi penyangga, harus mampu mendukung fungsional dari gigi yang hilang. Gigi tiruan cekat merupakan restorasi yang kuat dan retentif untuk menggantikan gigi yang hilang dan dapat digunakan untuk satu atau beberapa gigi yang hilang. Indikasi dari perawatan dengan menggunakan fixed-fixed bridge yaitu jika gigi yang hilang dapat terhubung dengan gigi penyangga yang mampu mendukung fungsional dari gigi yang hilang. Fixed-fixed bridge dengan menggunakan bahan porselen pada gigi insisivus sentralis.
b. Semi fixed bridge
Suatu gigitiruan yang didukung secara kaku pada satu sisi, biasanya pada akhir distal dengan satu atau lebih gigi penyangga. Satu gigi penyangga akan menahan perlekatan intracoronal yang memungkinkan derajat kecil pergerakan antara komponen rigid dan penyangga gigi lainnya atau gigi.
c. Cantilever bridge
Suatu gigitiruan yang didukung hanya pada satu sisi oleh satu atau lebih abutment. Pada cantilever bridge ini, gigi penyangga dapat mengatasi beban oklusal dari gigitiruan.


d. Spring cantilever bridge
Suatu gigitiruan yang didukung oleh sebuah bar yang dihubungkan ke gigi atau penyangga gigi. Lengan dari bar yang berfungsi sebagai penghubung ini dapat dari berbagai panjang, tergantung pada posisi dari lengkung gigi penyangga dalam kaitannya dengan gigi yang hilang. Lengan dari bar mengikuti kontur dari palatum untuk memungkinkan adaptasi pasien. Jenis gigi tiriruan ini digunakan pada pasien yang kehilangan gigi anterior dengan satu gigi yang hilang atau terdapat diastema di sekitar anterior gigi yang hilang.
e. Compound bridge
Merupakan gabungan atau kombinasi dari dua macam gigitiruan cekat dan bersatu menjadi suatu kesatuan.
1.3.2 Gigi Tiruan Mahkota
Mahkota tiruan (crown) adalah restorasi yang menutupi permukaan luar mahkota klinis, fungsi utama dari mahkota ini adalah untuk melindungi struktur gigi dan mengembalikan fungsi, bentuk dan estetika. Jenis-jenis Mahkota :8
1. Jaket Porselen
Sebuah mahkota jaket porselen terdiri dari lapisan porselen yang menutupi seluruh mahkota gigi. Indikasinya: Ketika gigi anterior dipulihkan dengan restorasi bahan komposit di mana gigi telah hilang sebagai akibat dari trauma. Keuntungannya penampilan lebih bagus, sesuai warna gigi asli. Kerugiannya karena perlu mengurangi setidaknya 1 mm gigi dan mudahnya rapuh karena sifat dari porselen sendiri.
2. Gold veneer crown
Gold veneer crown (GSC) adalah mahkota penuh yang terbuat dari paduan veneer emas. Biasanya untuk restorasi posterior di mana penampilan tidak pertimbangan. Dalam beberapa budaya sebuah mahkota veneer emas pada gigi anterior mungkin menunjukkan tanda kekayaan atau digunakan sebagai restorasi dekoratif. Keuntungan dari GSC adalah emas dapat dicetak secara akurat dalam bagian yang sangat tipis, dan dapat menahan beban berulang tanpa distorsi dan juga pengurangan gigi yang minimal dibandingkan dengan logam. Sedangkan kerugian GSC adalah biayanya yang relatif mahal.
3. Veneer Porselen
Veneer Porselen adalah porselen tipis yang disemen menggunakan resin diisi dengan asam-etsa. Indikasinya adalah untuk memperbaiki malformasi dari bentuk gigi dan diastema Kebersihan mulut penting ketika mempertimbangkan jenis restorasi. Sebuah model diagnostik untuk menilai hasil estetika juga dianjurkan. Preparasi gigi minimal diperlukan. Hasil estetika porselen sangat baik, karena memperlihatkan warna gigi alami. Jenis restorasi tidak disarankan pada pasien yang bruxism.

4. Inlay komposit
Restorasi intrakoronal dibuat dari bahan resin komposit. Restorasi gigi premolar dimana estetika diperlukan. Terlepas dari keuntungan estetika, jenis inlay mungkin bermanfaat bagi gigi yang memerlukan dukungan sebelum restorasi dipasangkan. Tidak diindikasikan pada gigi posterior dengan beban yang berlebihan. Meskipun bahan ini telah dikembangkan, masih tidak memenuhi kriteria untuk bahan restoratif posterior ideal.
5. Inlay/ Onlay Porselen
Restorasi intrakoronal atau onlay yang terbuat dari porselen. Sebuah restorasi posterior dengan pertimbangannya adalah penampilan. Hasil estetika dengan restorasi ini dapat sangat memuaskan terutama bila dibandingkan dengan amalgam. Restorasi ini menawarkan alternatif untuk persiapan lebih radikal seperti mahkota. Kekurangan adalah perbaikan restorasi yang rusak sulit. Penyesuaian profil oklusal restorasi ini sulit dibandingkan dengan bahan restorasi lainnya. Sebuah inlay porselen dapat menghasilkan keausan yang berlebihan dari struktur gigi yang berlawanan dikarenakan ada kegiatan parafungsional.




BAB III
LAPORAN KASUS

Seorang pasien laki-laki 48 tahun dirujuk dari Departemen Prostodonsi ke Departemen Periodontology, dengan mahkota klinis pendek untuk menampung gigi tiruan sebagian tetap. Pada Pemeriksaan jaringan keras intraoral, jumlah gigi ini adalah 11-17; 21-25, 27; 31, 34-37; dan 41-47. Atrisi pada semua gigi [Gambar 3.1]. Struktur mahkota 22-25 dan 41-45 ditemukan tidak memadai untuk persiapan mahkota tiruan [Gambar 3.2 dan 3.3]

Gambar 3.1. Atrisi pada semua gigi
Sumber : Mukherji A, Rath SK. Full-mouth aesthetic rehabilitation: a perio-prostho interdisciplinary approach. J int Clin Dent Res Organ 2015;7:155.

Pemeriksaan jaringan lunak menunjukkan gingiva sehat tanpa adanya pocket. Lebar attached gingiva memadai. Tidak ada kehilangan perlekatan klinis di salah satu gigi. Tidak ada kelainan sistemik. Perawatan endodontik gigi rahang atas sudah pernah dilakukan sebelumnya.

Gambar 3.2. Struktur mahkota gigi yang tidak memadai untuk persiapan mahkota tiruan, gigi 22-25
Sumber : Mukherji A, Rath SK. Full-mouth aesthetic rehabilitation: a perio-prostho interdisciplinary approach. J int Clin Dent Res Organ 2015;7:156


Gambar 3.3. . Struktur mahkota gigi yang tidak memadai untuk persiapan mahkota tiruan, gigi 41-45
Sumber : Mukherji A, Rath SK. Full-mouth aesthetic rehabilitation: a perio-prostho interdisciplinary approach. J int Clin Dent Res Organ 2015;7:156

Prosedur Penatalaksanaan :
1. Insisi internal gigi berbentuk bevel baik bagian bukal maupun palatal dengan kedalaman 2 mm pada gigi 22-25 [Gambar 3.4 dan Gambar 3.5].
2. Sulkus insisi dengan ketebalan flap mucoperiosteal sebesar 2-3 mm dari tulang yang sehat terlihat.
3. Tepi jaringan telah di hilangkan untuk mendapatkan akses ke tulang alveolar dan akar.

Gambar 3.4 insisi bevel internal bukal
Sumber : Mukherji A, Rath SK. Full-mouth aesthetic rehabilitation: a perio-prostho interdisciplinary approach. J int Clin Dent Res Organ 2015;7:156

Gambar 3.5. insisi bevel internal palatal

Sumber : Mukherji A, Rath SK. Full-mouth aesthetic rehabilitation: a perio-prostho interdisciplinary approach. J int Clin Dent Res Organ 2015;7:156


4. Kemudian hilangkan jaringan granulasi dengan menggunakan kuret.
5. Lakukan osteoplasty dan atau osteotomy dengan mengingat dimensi lebar biologis rekonstruksi nantinya. Kemudian dengan menggunakan round bur dengan cooling abundant menggunakan saline steril tulang kemudian diukir [Gambar 3.6]. Kontur tulang tampak berlekuk sejajar dengan cementoenamel junction (CEJ)

Gambar 3.6. Pengurangan tulang
Sumber : Mukherji A, Rath SK. Full-mouth aesthetic rehabilitation: a perio-prostho interdisciplinary approach. J int Clin Dent Res Organ 2015;7:156

6. Sisa serat dari ligamentum periodontal yang melekat pada sementum seluruhnya dihilangkan dengan root planning. Dengan demikian, reattachment dari sisa serat jaringan ikat dalam flap nantinya akan dicegah.
7. Lakukan hal yang sama pada gigi 41, 42, 43, 44, 45.
8. Kemudian irigasi yang banyak untuk menghilangkan kotoran pada saat bedah. Margin flap disesuaikan untuk penutupan primer. Kemudian jahit dengan silk 3.0 diikuti dengan pack periodontal.
9. Pasca pembedahan berikan pasien obat anti-inflamasi, obat kumur chlorhexidine 0,2% untuk 2 minggu. Pasien diinstruksikan kembali setelah 7 hari untuk membuka jahitan.
10. Penyembuhan ditemukan memuaskan tanpa komplikasi setelah 7 hari, terlihat struktur memadai untuk restorasi prostetik. Gigi tiruan dibuatkan setelah 6 bulan. Pertimbangan oklusal diperhitungkan mengingat adanya atrisi yang parah sebelum operasi.
11. Pasien ditindaklanjuti selama 1 tahun setelah gigi tiruan dipasangkan. Hasil tampaknya memuaskan tanpa pocket atau peradangan di sekitar gigi tiruan.

Gambar 3.7. Jahitan diberikan

Sumber : Mukherji A, Rath SK. Full-mouth aesthetic rehabilitation: a perio-prostho interdisciplinary approach. J int Clin Dent Res Organ 2015;7:156

Gambar 3.8. Penyembuhan setelah 7 hari
Sumber : Mukherji A, Rath SK. Full-mouth aesthetic rehabilitation: a perio-prostho interdisciplinary approach. J int Clin Dent Res Organ 2015;7:157

Gambar 3.9. Rehabilitasi Prostetik diberikan
Sumber : Mukherji A, Rath SK. Full-mouth aesthetic rehabilitation: a perio-prostho interdisciplinary approach. J int Clin Dent Res Organ 2015;7:157

BAB IV
PEMBAHASAN

Persiapan tepi restorasi yang baik adalah persyaratan utama dalam prosedur pembuatan gigi tiruan cekat. Kontrol optimal dari tepi restorasi mungkin sulit dalam situasi dimana memperpanjang dan memperlebar tepi pada daerah subgingiva, akibatnya bedah pemanjangan mahkota klinis mungkin menjadi pilihan. Abutment harus dipersiapkan mewakili retensi untuk menjamin retensi dan stabilitas rekonstruksi gigi tiruan yang baik. Untuk mendapatkan dimensi vertikal untuk aspek biomekanik, bedah pemanjangan mahkota dapat diindikasikan.1
Menurut pengamatan Gargiulo yang dikutip Mukherji dan Rath mengatakan bahwa perlekatan jaringan gingiva ke jaringan lunak ditempati 1,07 mm oleh epitel junctional dan 0,97 mm dari koronal ke tulang alveolar. Kombinasi keduanya merupakan lebar biologis.1
Tujuan pemanjangan mahkota meliputi pengangkatan karies subgingiva, pelestarian dan pemeliharaan restorasi, perbaikan estetika, restoratif memungkinkan pengobatan tanpa mengganggu lebar biologis, koreksi dari bidang oklusal, dan fasilitas peningkatan kebersihan mulut.1
Titik referensi yang paling penting adalah lokasi crest alveolar dalam kaitannya dengan gingiva dan tepi restorasi. Dalam mencegah pelanggaran biologis selama persiapan intercervicular gigi, penilaian terhadap parameter ini adalah hubungan anatomi mahkota CEJ dan puncak tulang, pengukuran zona gingiva dan adanya pocket.1
Dalam sumber acuan karya tulis ilmiah ini, tidak dijelaskan apa penyebab terjadinya gigi atrisi pada pasien tersebut, sehingga keterbatasan untuk mengetahui tahapan prostetiknya bagaimana dan alternatif perawatan lainnya apa tidak dapat diketahui.
Dalam kasus ini telah dijelaskan bahwa gigi tiruan cekat diberikan pada pasien setelah 6 bulan. Persiapan mahkota defentif tidak boleh dilakukan setidaknya 3 bulan setelah operasi karena pada saat itu biotipe periodontal tipis. Lebar biologis akan membangun kembali vertikal aslinya 6 bulan setelah operasi.1
Dalam laporan kasus Kokate dkk mengatakan bahwa pasien dengan kondisi klinis atrisi yang dimana membutuhkan pemanjangan mahkota untuk memperoleh cukup ruang dengan pilihan perawatan gigi tiruan cekat. Setelah pemanjangan mahkota dan setelah 6 bulan berlalu, pasien sudah siap untuk menerima mahkota sementara9. Namun sebelumnya kita sudah menentukan DVO-nya, untuk mengevaluasi/ menentukan DVO yaitu :10
- Melihat ada tidaknya dukungan dari posterior gigi.
- Faktor kebiasaan pasien. Misalnya pasien suka mengkonsumsi makanan/ minuman asam atau tidak, dll
- Evaluasi fonetik. Jika jarak antara tepi insisal dengan gigi RB dan permukaan lingual anterior RA kurang lebih 1mm akan membuat suara mendesis.
- Interoklusal ruang istirahat/free way space. Ruang sisa interoklusal pasien yang diukur antara ujung hidung dan ujung dagu dengan nilai normal 2-4 mm.
- Penampilan wajah. Keriput dan commissura diamati.
Dalam laporan kasus Song dkk mengatakan bahwa pasien yang memiliki riwayat atrisi sehingga memiliki DVO yang berlebih dibuatkan occlusal overlay splint untuk membuat semua gigi yang atrisi berkontak sehingga menjadi oklusi sentries. Adaptasi dilakukan selama 1 bulan untuk menetukan VDO yang diinginkan dari gigi tiruan sementara tetap nantinya. 10
Pasien dicetak dan dibuatkan model diagnostik, kemudian dengan “wax” buat sesuai DVO yang diinginkan dari gigi tiruan cekat. Restorasi sementara ditempatkan sesuai dengan DVO yang diinginkan, restorasi tersebut disemen dengan Zinc Oksid Eugenol. Selama 2 bulan, restorasi sementara disesuaikan dengan panduan untuk rehabilitasi mulut defintif. Selama 2 bulan fungsi, nyeri otot, ketidaknyamanan dari TMJ, pengunyahan, gerakan mandibula, menelan, berbicara, dievaluasi. Setelah mahkota jadi, insersikan ke gigi dengan luting semen ionomer. Berikan instruksi kebersihan mulut.10
Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam kasus pasien dengan atrisi berat, sebelum merujuk pasien ke periodontis sebaiknya mengoreksi dimensi vertikal oklusinya terlebih dahulu dengan membuat model diagnostik, kemudian membuatkan occlusal overlay splint untuk membuat kontak semua gigi baik posterior maupun anterior mengingat hilangnya kontak antar gigi akibat atrisi, adaptasi selama 1 bulan untuk menetukan DVO-nya. Kemudian barulah pasien dirujuk ke prostodontis untuk dilakukan pemanjangan mahkota. Selama menunggu penyembuhan, prostodontis sudah membuat model diagnostik dengan “wax” sebagai ilustrasi mahkota sementara yang akan dibuatkan sesuai DVO yang telah didapatkan. Setelah masa penyembuhan dari pembedahan pemanjangan mahkota barulah diinsersikan mahkota sementara yang telah jadi dengan menggunakan semen ZOE lalu lakukan adaptasi selama 2 bulan, fungsi, nyeri otot, ketidaknyamanan dari TMJ, pengunyahan, gerakan mandibula, menelan, berbicara, dievaluasi. Setelah mahkota jadi, insersikan ke gigi dengan luting semen ionomer. Berikan instruksi kebersihan mulut.








BAB V
PENUTUP

5.1 SIMPULAN
Keberhasilan jangka panjang dari semua restorasi gigi tiruan tergantung pada pelestarian lebar biologik. Sebuah kasus mahkota klinis pendek dapat berhasil dipulihkan oleh pemanjangan mahkota atau crown lengthening dan penempatan restorasi yang tidak mengganggu lebar biologis. Dalam kasus tersebut, prognosis tinggi nilai pengobatan dapat dicapai oleh interdisipliner pendekatan pengobatan.

5.2 SARAN
Pentingnya bagi prostodontis untuk bekerja sama dengan periodontis dalam hal pelestarian lebar biologis sebagai retensi restorasi nantinya. Sehingga memiliki prognosis yang baik khususnya dalam hal pembuatan gigi tiruan cekat.




DAFTAR PUSTAKA
1. Mukherji A, Rath SK. Full-mouth aesthetic rehabilitation: a perio-prostho interdisciplinary approach. J int Clin Dent Res Organ 2015;7:155-8.

2. Zeighami S, Siadat H, Nikzad S. Full mouth reconstruction of a bruxer with severaly worn dentition: A clinical report. Hindawi Publishing Corporation [internet]. 2015. p.1. Available from : http://dx.doi.org/10.1155/2015/531618. Accessed 19 September 2015.

3. Hatami M, Sabouhi M, Samanipoor S, Badrian H. Prosthodontic rehabilitation of the patient with severely worn dentition: a case report. Hindawi Publishing Corporation [internet]. 2012. p.1. Available from : http://doi:10.1155/2012/961826. Accessed 19 September 2015.

4. Malkoc MA, Sevimay M, Emre Y. The use of zirconium and feldspathic porcelain in the management of the severely worn dentition: a case report. Eur J Dent 2009;3:76.

5. Rosenstiel SF, Land MF, Fujimoto J. Contemporary fixed prosthodontic. 3rd ed. St. Louis: Mosby Inc; 2001. p.150-1.

6. Murali KV, Shahabe SA, Patil SG, Ahmed BMV, Bhandi S. Esthetic crown lengthening : theoretical concepts and clinical procedures. Inc Journal of Contemporary Dentistry 2012;3(3):33.

7. Lee AE. Aesthetic crown lengthening: classification, biologic rationale, and treatment planning considerations. Pract Proced Aesthet Dent 2004;16(10):770-2.

8. Barclay CW, Walmsley AD. Fixed and removable prosthodontics. 2nd ed. Tottenham: Churchill livingstone;2001.p. 115-26, 131-2, 141-4.

9. Kokate SR, Banga P, Chavan K. Full mouth rehabilitation in a patient with multiple decayed and attritioned teeth: a clinical case report. [internet]. p.134. Available from : http://medind.nic.in/eaa/t12/i1/eaat12i1p131.pdf. Accessed 28 September 2015.

10. Song MY, Park JM, Park EJ. Full mouth rehabilitation of the patient with severely worn dentition: a case report. J Adv Prosthodont 2010;2:107-9.

PENANGANAN KERUSAKAN APIKOMARGINAL PADA REGIO ESTETIK TERKAIT DENGAN GIGI YANG ANOMALI

PENANGANAN KERUSAKAN APIKOMARGINAL PADA REGIO ESTETIK TERKAIT DENGAN GIGI YANG ANOMALI

Vinayah Venkoosa, Dipali Yogesh Shah, Pradyna Prabhakar Mali, Vidya Vinayak Meharwade
Restorative Denstistry & Endodontics

Gigi yang berkaitan dengan faktor seperti adanya palatoradicular groove dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya destruksi periodontal secara lokal. Proses patologis dapat menyebabkan kerusakan apikomarginal bersamaan dengan inflamasi pulpa. Hal ini menciptakan kondisi yang meragukan dimana dokter harus mampu melaksanakan prosedur regeneratif periodontal yang maju untuk keberhasilan perawatan. Laporan kasus ini membahas mengenai penanganan klinis dari kerusakan apikomarginal terkait dengan destruksi periradikular yang luas pada insisivus lateralis maksila beserta aspek histopatologi lesi.
Kata kunci: apicomarginal communication, guided tissue regeneration, insisivus lateralis maksila, platelet rich plasma.

Pendahuluan
Terdapat hubungan yang dekat antara jaringan periodontal dan jaringan pulpa. Periodontitis merupakan kondisi inflamasi dari periodonsium yang utamanya disebabkan karena biofilm bakteri dan respon host. Diantara banyak faktor, faktor lokal seperti anomali perkembangan gigi dapat menjadi predisposisi meningkatnya adesi bakteri ke permukaan gigi. Hal ini menjadikan cekungan yang baik untuk pertumbuhan plak bakteri subgingiva. Palatoradicular atau cinguloradicular groove (PRG) merupakan anomali perkembangan yang umum dijumpai oleh dokter. Akan tetapi, hal ini belum banyak dilaporkan dalam literatur. PRG merupakan daerah yang berpotensi menjadi tempat akumulasi plak yang memberikan jalur langsung untuk mencapai struktur periodonsium yang lebih dalam. Hal ini menyebabkan kehilangan perlekatan periodontal secara lokal yang menyebabkan terjadinya poket disepanjang perluasan groove. Meskipun etiologi yang tepat tidak diketahui mengenai lipatan organa email dan hertwig’s epithelial root sheath, upaya gigi untuk membentuk akar lain yang tidak sempurna atau perubahan genetik dikatakan sebagai mekanisme yang memungkinkan terjadinya groove, sama halnya dengan dens invaginatus. PRG biasanya terjadi pada aspek distolingual dengan prevalensi 2,5% hingga 8,5% pada insisivus maksila. Penelitian terkait dengan perluasan PRG di atas permukaan akar disimpulkan bahwa hanya 10% perluasan yang melebihi 10 mm di atas permukaan akar. Kedalaman PRG dan perluasannya sepanjang permukaan akar dapat memiliki efek yang merusak bagi kesehatan periodonsium maupun jaringan pulpa.
Sepanjang PRG, hubungan langsung antara pulpa dan ligamen periodontal yang digambarkan dalam literatur merupakan kejadian yang jarang terjadi. Bergantung pada perluasan PRG, kerusakan tulang secara lokal dapat meluas di sepanjang akar yang melibatkan daerah periradikular dengan/tanpa kehilangan tulang marginal yang digambarkan sebagai kerusakan apikomarginal. Hubungan kerusakan apikomarginal dengan PRG berpengaruh pada hasil dan pemilihan jenis perawatan. Kerusakan apikomarginal menunjukkan keraguan yang bermakna pada perawatan selama pasca terapi pembentukan epitel junctional yang terjadi di atas permukaan akar. Laporan kasus ini menggambarkan penanganan dari kerusakan apikomarginal terkait dengan insisivus lateralis kanan maksila yang disebabkan karena perluasan PRG ke bagaian apeks.
Laporan Kasus
Laki-laki usia 21 tahun yang bukan perokok dan sehat secara sistemik dilaporkan ke bagian periodontologi, Sinhgad Dental College and Hospital yang mengeluhkan gusi berdarah, sakit sedang, dan mengeluarkan nanah pada daerah gigi depan kanan atas selama 6 bulan. Pada pemerikasaan intraoral, attached gingiva bagian labial dari insisivus lateralis kanan maksila menunjukkan adanya drainase sinus tract dan mobilitas derajat I (Gambar 1). Pasien tidak memiliki riwayat trauma pada gigi. Status periodontal gigi stabil dan sehat secara klinis, tetapi gigi 12 menunjukkan adanya kedalaman probing 15 mm pada aspek distolingual yang terkait dengan adanya PRG (Gambar 2). Gigi non vital ditunjukkan dengan tidak adanya respon pada electric pulp test (Kerr Electric Pulp Tester, SybronEndo, Orange, CA, USA) maupun pada tes dingin. Intraoral periapical radiograph (IOPA) dari gigi yang bersangkutan menunjukkan adanya lekukan pada daerah distoservikal mahkota dengan radiolusensi linear yang berjalan sejajar dengan saluran akar di sepanjang akar (Gambar 3). Kurangnya ruang ligamen periodontal dan diskontinuitas pada lamina dura terlihat jelas pada foto radiografi. Terdapat adanya suatu penyakit yang ditandai dengan radiolusensi disekitar pertengahan dan 1/3 apikal akar. Akar menunjukkan terjadinya dilaserasi dengan sudut kehilangan tulang sepanjang aspek distal yang meluas hingga sepertiga tengah akar (Gambar 3).











Berdasarkan gambaran klinis-radiografi dan kriteria Abbott dan Sulgado, ditegakkan sebuah diagnosis dalam bidang endodonsi bersamaan dengan penyakit periodontal. Pasien dijelaskan mengenai rencana perawatan dan pemeriksaan yang dibutuhkan (radiografi dan histologi) untuk mendapat persetujuannya. Perizinan dari instutional ethical board juga diperoleh (SDCH/IEC/2012-13/43A). Pasien dievaluasi dengan cone beam computed tomography (CBCT, CS 9300, Kodak-Carestream, Rochester, NY, USA) yang menunjukkan adanya kehilangan tulang secara lokal pada dearah periapikal (10,61 mm × 11,09 mm) disertai kehilangan tulang kortikal bagian fasial dan tulang alveolar marginal pada aspek labial dan distolingual gigi 12 (Gambar 4). Gigi juga menunjukkan adanya nonembeded pulp stone (panah hijau, Gambar 4). Berdasarkan penemuan pada foto CBCT, ditegakkan sebuah diagnosis kerusakan tulang apikomarginal. Estrella dkk mengajukan indeks periapikal terbaru (CBCTPAI, cone beam computed tomography periapical index) berdasarkan pada diameter radiolusensi periapikal dan perluasan /destruksi tulang kortikal periapikal seperti yang terlihat pada foto CBCT. Sehingga kerusakan tulang terkait dengan gigi 12 diberi skor 5+D (Gambar 4).



Berdasarkan perawatan pertama dari Abbott, Salgado dan Oh dkk, diawali dengan terapi pada bidang endodonsi serta terapi periodontal fase I. Dibawah isolasi rubber dam, dilakukan pembukaan akses dan saluran akar dibersihkan dan dibentuk menggunakan teknik crown down hingga ukuran apikal 60 (Colorinox K-file, Dentsply maillefer, Ballaigues, Switzerland) dengan irigasi natrium hipoklorit 5,25%. Setelah mengeringkan saluran akar, diaplikasikan pasta kalsium hidroksida dan kavitas akses ditutup dengan bahan restorasi zinc oxide eugenol. Dilakukan root planning dan kuretase, selanjutnya gigi diberi komposit sementara dan kawat splinting. Pasien diberikan instruksi untuk menjaga kebersihan rongga mulut. Setelah empat minggu, diberikan kembali obat intrakanal dengan menggunakan obat kalsium hidroksida yang baru dan dilakukan penilaian jaringan periodontal kembali. Selama penilaian ini, ditemukan bahwa jaringan gingiva pada insisivus lateralis maksila secara klinis terlihat sehat tanpa adanya drainase sinus tract dengan poket yang persisten. Pasien dipanggil kembali setelah tiga bulan untuk evaluasi selanjutnya, yang menunjukkan poket lokal yang persisten yaitu 14 mm. Oleh karena itu, direncanakan terapi bedah periodontal.
Terapi bedah mencakup guided tissue regeneration menggunakan demineralized freeze dried bone allograft (DFDBA, tissue bank, TATA memorial hospital, Mumbai, India) dan platelet rich fibrin (PRF). Satu minggu sebelum terapi bedah, saluran akar diisi secara kompaksi lateral dingin dengan master cone gutta percha taper 0,02 dan aksesoris cone dengan sealer AH Plus (Dentsply maillefer) dan kompaksi vertikal panas dengan cone gutta percha taper 0,06 menggunakan Obtura II (SybronEndo). Akses kavitas ditutup dengan glass ionomer cement (Fuji II, GC CO., Tokyo, Japan).
Sebelum operasi bedah, disiapkan PRF yang terbaru. Sepuluh mL darah digambarkan oleh venipuncture dari daerah antecubital dalam dua tabung kaca steril 5 mL dan dilakukan gerakan sentrifugal pada 3000 rpm selama 10 menit. Hal tersebut menghasilkan tiga lapisan yaitu fraksi merah pada bagian bawah yang mengandung sel-sel darah merah, sel plasma kekuningan pada bagian atas, dan fraksi tengah mengandung gumpalan fibrin. PRF diperoleh dari lapisan kekuningan bagian atas serta lapisan tengah. Dengan menggunakan lidokain hidroklorida 2 % dengan adrenalin 1:1000.000, anestesi lokal yang adekuat dilakukan dengan disertai insisi horizontal intrakrevikular yang meluas dari sudut garis mesial dari gigi 11 ke sudut garis distal gigi 13 pada aspek bukal dan palatal (Gambar 5). Pada aspek bukal, insisi vertikal dilakukan pada ujung insisi horizontal yang meluas ke mukogingiva junction dan ketebalan flap mukoperiosteal digambarkan secara adekuat agar memperlihatkan kerusakan tulang saat akses (Gambar 5). Setelah degranulasi lengkap dari kerusakan tulang, groove radikular dapat menunjukkan perluasan sepanjang aspek distolingual disepanjang akar. Dikirim jaringan yang diambil dari daerah periapikal untuk pemeriksaan histopatologi setelah difiksasi dalam formalin 10%. Kerusakan tulang terlihat di sekitar groove radikular pada aspek palatal yang meluas ke bukal melibatkan bagian apikal dan sepertiga tengah dari akar insisivus lateralis kanan dengan kehilangan tulang kortikal bukal sepanjang permukaan akar. Kepadatan tulang interdental terlihat jelas (Gambar 6). Dilaserasi pada sepertiga apikal akar ditandai denga keluarnya gutta-percha sekitar 1 mm dari apeks (panah kuning, Gambar 6).










Dilakukan skeling pada permukaan akar dengan instrument ultrasonik (Piezon 250, EMS, Nyon, Switzerland). Saucerization dari PRG dilakukan menggunakan instrumen mekanis yang sesuai (kuret Gracey, nomor 1,2 dan 5,6, Hu-Friedy Manufacturing Xo., Chicago, IL, USA) untuk memperoleh permukaan yang kasar dan halus. 3 mm bagian apikal akar direseksi dan dilakukan retropreparasi menggunakan tip ultrasonik (Diamond Coated Ultrasonic tips, SybronEndo). Kavitas ujung akar diisi dengan mineral trioxide aggregate (ProRoot MTA, Dentsply, York, Pa, USA) (Gambar 7). Dengan hemostasis dan isolasi yang adekuat, PRG diberikan asam poliakrilik 10% dan ditutup dengan light cured glass ionomer cement (Fuji II LC, GC Co) (Gambar 8). Kerusakan tulang diisi penuh hingga crest tulang interdental dengan pencampuran DFDBA dan PRF (Gambar 9). PRF selanjutnya digunakan untuk menutupi daerah grafting berbentuk membran (Gambar 10). Flap direposisi untuk mendapatkan penutupan primer menggunakan 4-0 monofilament polyamide black suture ( Ethilon, Johnson &Johnson, M.I.D.C., Aurangabad India) (Gambar 11). Dibuat IOPA setelah perawatan, antibiotik (Amoxicillin 500 mg, 3 kali sehari ) dan obat antiinflamasi non steroid (ibuprofen 500 mg, 3 kali sehari) diresepkan selama 5 hari. Pasien dijelaskan mengenai langkah-langkah kebersihan rongga mulut dengan penggunaan obat kumur klorheksidin glukonat 0,2% selama 3 minggu. Penyembuhannya lancar dan jahitan diangkat setelah 10 hari.















Pasien dipanggil kembali pada bulan ke 3, 6, 9, dan 12 untuk evaluasi. Pada follow up bulan ke 12, pasien tidak memiliki gejala, sinus tract tertutup dan kedalaman probing 2 mm disertai resesi gingiva 1 mm sepanjang aspek distopalatal (Gambar 12a dan 12b). Foto IOPA dan CBCT dilakukan pada panggilan bulan ke 12 yang menunjukkan resolusi sempurna pada radiolusensi periapikal (Gambar 12c dan 12d). Berdasarkan kriteria penyembuhan pada radiografi yang dikembangkan oleh Rud dkk, foto IOPA pada bulan ke 12 dinilai dan menunjukkan penyembuhan yang sempurna (Gambar 12c).


Pewarnaan hematoksilin dan eosin pada jaringan granulasi menunjukkan adanya lapisan epitel kista squamosa stratified non keratin dengan tipe arcading (panah biru) proliferasi dan jaringan ikat menunjukkan adanya infiltrasi dari sel inflamasi kronis yang menggambarkan adanya kista periapikal (Gambar 13).



Pembahasan
Kasus yang diangkat di sini yaitu pasien muda dengan kerusakan tulang apikomargnial yang meluas karena PRG yang melibatkan akar insisivus lateralis kanan maksila. Peningkatan kesehatan rongga mulut pasien melalui perawatan mencakup pengurangan infeksi dalam bidang endodonsi, penghilangan PRG untuk mencegah akumulasi dan jalur bagi plak bakteri dan regenerasi kehilangan struktur periodontal.
Menurut Kogon, PRG mengenai sekitar 5,6% insisivus lateralis dengan perluasan hanya 10% hingga lebih dari 10 mm dari singulum yang mengarah ke apeks. Pada kasus ini, PRG meluas ke apeks yang merupakan kejadian yang jarang ditemui dan menyebabkan penyakit endodonsi bersamaan dengan penyakit periodontal disertai kerusakan tulang apikomarginal. Schultz dkk dan Sekhar dkk mengatakan splinting pada gigi yang goyang sebelum prosedur regenerasi meningkatkan tingkat perlekatan periodontal. Pada kasus ini, gigi goyang derajat I, sehingga dilakukan splinting sementara yang bertujuan untuk mengurangi mobilitas gigi, sama dengan kasus yang dilaporkan oleh Oh dkk dan Ballal dkk yang menunjukkan hasil yang baik. Pada kasus kami, splinting diangkat setelah 9 bulan kunjungan follow up dan kami mengamati adanya pengurangan mobilitas gigi.
Kasus-kasus yang mencakup insisivus maksila terkait lesi periapikal disertai kehilangan tulang marginal diterbitkan. Prognosis dari bedah periradikular ( bervariasi antara 25% dan 90%) bergantung pada jumlah dan lokasi tulang dekat permukaan akar. Destruksi tulang marginal dijumpai pada kerusakan apikomarginal yang mengurangi keberhasilan perawatan hingga 27% dan 37%. Kehilangan tulang kortikal bukal sepanjang tulang periapikal seperti yang terlihat pada kasus ini menciptakan keragu-raguan yang bermakna pada keberhasilan perawatan.
Literatur melaporkan banyak biomaterial untuk guided tissue regeneration yang terdiri atas membran resobable/non-resorbable, periosteal graft,dan beberapa bone graft. Semuanya menunjukkan hasil yang baik, tetapi kekurangan tersendiri dari membran yaitu biaya yang tinggi, kemungkinan terjadinya kontaminasi pada paparan rongga mulut, memerlukan pembedahan yang kedua (hanya pada membran non resorbable) dan berisiko besar terjadi trauma mekanis dari sulkus gingiva (selama kehilangan tulang marginal) yang harus diatasi. Oleh karena itu, pada kasus ini digunakan campuran dari graft PRF dan DFDBA. PRF juga digunakan sebagai membran untuk menutupi daerah graft. Shivshankar dkk melaporkan kegunaan PRF dengan hidroksiapatit untuk penangan lesi periapikal yang besar dan perawatannya berhasil setelah 2 tahun. PRF mengandung beberapa faktor pertumbuhan yang memiliki efek positif pada diferensiasi sel. Membran PRF juga bertindak sebagai barier pertahanan, mempercepat penutupan luka dan penyembuhan mukosa karena melepaskan fibrin dan faktor pertumbuhan.
Glass Ionomer Cement (GIC) bersifat kompatibel dan adesif terhadap dentin. Laporan klinis menunjukkan peran GIC pada daerah subgingiva digambarkan dengan inflamasi yang kurang, perbaikan tulang yang lebih besar, mendapatkan perlekatan klinis dan mengurangi kedalaman poket. GIC digunakan pada kasus ini yang menunjukkan hasil yang sama dengan Forero-Lopez dkk yang melaporkan prosedur teknik terbaru yang mencakup sealing PRG dengan GIC, replantasi dengan rotasi horizontal 180 dejarat dari gigi dan veneer yang estetik untuk membangun kembali morfologi gigi. Naik dkk dan Zucchelli dkk secara berurutan menggunakan biodentin dan komposit flowable. Zucchelli dkk juga menunjukkan hasil yang baik dengan menggunakan papila amplification flap dan Emdogain (Institut Starumann, Waldenburg, Switzerland) yang khas pada kasus ini.
Beberapa laporan dimuat dalam literatur yang menggunakan IOPA untuk mengevaluasi perubahan tulang terkait dengan gigi kecuali Rachana dkk yang menggunakan CT, sedangkan Rajput dkk menggunakan CBCT untuk evaluasi awal. Akan tetapi pada kasus ini bersama dengan IOPA, CBCT digunakan tidak hanya untuk evaluasi awal tetapi juga untuk follow up setelah perawatan. Dilakukan pemberian skor lesi menggunakan CBCTPAI yang merupakan bagian yang khas pada laporan ini. Sepengetahuan kami laporan ini merupakan yang pertama kali melaporkan penggunaan CBCT dan CBCTPAI untuk mengevaluasi hasil perawatan. Pada bulan ke 12, digunakan kriteria penilaian pada radiografi untuk IOPA sebelum dan setelah perawatan untuk mendapat kriteria penyembuhan yang sempurna. Sepengetahun kami, laporan kasus kami juga khas dalam menunjukkan aspek histologi dari perolehan lesi periapikal untuk menegaskan lesi tersebut.
Kesimpulan
Laporan ini menggambarkan keberhasilan perawatan dari kerusakan apikomarginal melalui pengaplikasian GTR dengan menggunakan DFDBA dan PRF. Dengan bantuan CBCT bersamaan dengan temuan klinis menunjukkan hasil yang memuaskan tetapi pada follow up jangka panjang dibutuhkan untuk memvalidasi hasil yang diperoleh.